"Saya tidak bisa melihat lagi, jadi saya tidak bisa mengikuti slide dengan baik. Tapi asisten saya akan membantu saya untuk presentasi," kata Murdijati Gardjito saat menjadi pembicara di Ubud Food Festival Presented by ABC dan didukung oleh Kementerian Pariwisata Republik Indonesia di Ubud beberapa waktu lalu.
Perempuan kelahiran Yogyakarta 21 Maret 1942 ini memang punya ketertarikan yang besar soal kuliner Indonesia. Tapi kecintaannya pada makanan bukan cuma tentang di mana mencari makan enak dan restoran kekinian yang populer untuk media sosial.
Sebaliknya, Mur, begitu dia disapa, meneropong kuliner Indonesia lewat sejarah, nilai gizi, sampai ragam kuliner dari Sabang sampai Merauke.
"Saya bisa berhari-hari kalau cerita soal kuliner Indonesia," katanya kepada CNNIndonesia.com sambil terkekeh.
Kecintaannya pada kuliner Indonesia ini dimulai sejak tahun 2000. Riset-risetnya soal kuliner Indonesia dimulai pada 2003. Kala itu dia menjadi Kepala Pusat Kajian Makanan Tradisional UGM.
Berbagai riset tentang makanan pun dilakukannya.
"Dari riset itu saya mendapat profil tentang kuliner Indonesia. Setelah tahu profilnya kemudian saya tulis masing-masing makanannya," ucap dia sambil sesekali mengangkat wajahnya seperti tengah mengenang masa-masa itu.
Mur kembali berkisah, saat itu, saat usianya masih muda, tubuhnya masih kuat, dan penglihatannya masih normal, lembaran-lembaran penelitian tentang kuliner daerah itu ditulisnya tanpa henti dan tanpa libur. Butuh dua tahun untuk menyusun laporan riset setebal 4998 halaman.
"Tapi itu belum selesai, karena itu baru makanannya secara individu."
Dia pun mulai bergelut kembali dengan lembaran kertas riset makanan. Berdasarkan riset saya ini kuliner Indonesia adalah seni dapur yang terbentuk dari 1.041 etnis di Indonesia. Masing-masing dari mereka punya cara tersendiri untuk memasak dan mengolah bahan baku.
"Jadi saya harus bagi lagi menjadi 34 daerah kuliner, saya harus bagi jadi 34 daerah kuliner dan ini berarti selesaikan 34 buku."
"Ini bukan pekerjaan mudah dan ringan. Apalagi harus swadana dan swadaya."
Mur sedih bukan kepalang, dia kesulitan untuk mencari penerbit yang bersedia menerbitkan bukunya. Dia sadar bukunya bukan 'buku biasa' bukan buku resep ataupun buku tentang rekomendasi makan enak.
"Riset hampir empat tahun dan menulis report jadi buku, laporan riset saya setebal 300 halaman. Dan tidak ada yang mau terbitkan kecuali UGM, ya karena isinya tentang laporan penelitian."
Sampai saat ini sudah lebih dari 70 buku kuliner Indonesia sudah dibuatnya.
"Ada tentang pangan lokal nusantara, bagaimana industri makanan rumahan harus berjalan, higienitas dan sanitasi, penanganan bahan segar, penanganan buah dan sayur segar," katanya.
Perempuan bergelar profesor dan kerap dijuluki sebagai profesor kuliner Indonesia ini masih punya banyak keinginan yang ingin dituliskannya.
"Masih banyak yang harus dikerjakan tapi kondisi saya sudah tua, buta, dan sudah pensiun."
"Saya pensiun 2007, tapi saya saat itu masih mengajar sampai 2015 dan tidak bisa mengajar lagi karena sudah tidak bisa melihat."
Meski sang profesor kuliner ini mungkin sudah tak sekuat dulu untuk melanjutkan risetnya ke berbagai daerah di Indonesia, namun semangat menulisnya masih membara dan harapannya akan meningginya popularitas kuliner indonesia di negeri sendiri ini masih tetap tinggi.
"Sekarang saya berharap apa yang saya tulis 5.000 lembar berjudul Pusaka Citarasa Indonesia yang diterbitkan oleh yayasan milik mantan mahasiswa saya bisa dilihat negara menjadi dokumen penting negara yang perlu diterjemahkan dan perlu dibaca oleh bangsa Indonesia."
Kuliner, martabat dan kebudayaan bangsa
Buat Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan UGM ini, nilai sepiring makanan Indonesia bukan cuma sekadar enak atau tidak tapi menjadi martabat sebuah bangsa.
"Makanan Indonesia itu sangat kuat untuk mendukung martabat bangsa jadi mari pahami dan mengerti soal kuliner Indonesia, tidak perlu terpengaruh makanan lain," katanya.
Kebanggaannya pada kuliner Indonesia ini juga makin menjadi karena dia sadar kalau Indonesia adalah dapur gastronomi terbesar di dunia. Dia percaya bahwa Indonesia punya potensi besar akan ketahanan dan kedaulatan pangan.
"Kuliner itu juga membentuk kebudayaan. misalnya dari tata cara makan. Selain itu makanan juga jadi sarana untuk menyampaikan sesuatu, misalnya nasi biru untuk minta maaf dan nasi tumpeng untuk merayakan sesuatu," katanya.
"Makanan itu punya banyak manfaat bukan hanya soal biar kenyang tapi juga supaya puas, mendapat manfaat lebih jauh dan mendapatkan wellness, kebijakan."
"Makanan itu juga bagian dari kesuksesan diplomasi dan membentuk karakter bangsa."
Menyadari banyaknya peran makanan dalam kehidupan sehari-hari dan juga bernegara, namun Mur masih mengaku menyimpan kekecewaan.
"Kuliner itu membentuk kebudayaan dan tiap daerah punya dewan kebudayaan. Tapi ahli makanan enggak pernah masuk di dalamnya."
"Heran, makanan kan penting, tapi banyak diabaikan."
Kendala Perkembangan Kuliner Indonesia
Di usia senja dan setelah berbagai upaya yang dilakukannya, Mur masih belum bisa bersantai. Kuliner Indonesia masih menghadapi banyak kendala.
Salah satu kendalanya adalah munculnya makanan-makanan lain yang lebih modern dan kekinian.
"Bangsa Indonesia sangat kurang menghargai makanan Indonesia. Padahal sekarang ini semua orang di dunia banyak menegok cara makan bangsa timur yang lebih sehar dan membuat kualitas hidup lebih baik," katanya tegas.
"Karena itu saya menasehatkan pada generasi muda supaya jangan terbalik mengagumi makanan lain tapi harus mengunggulkan makanan Indonesia."
"Banyak orang yang merasa tidak bangga. Misalnya makan blondo (produk sisa dari pembuatan minyak kelapa. Punya campuran dari protein dan serat yang tinggi). Mereka malu padahal menurut penelitian manfaat makan blondo sama seperti makan daging."
Selain itu, kendala lain yang dihadapi adalah banyaknya ilmuwan Indonesia yang tidak mau melakukan riset, mengkaji, dan memberikan edukasi tentang makanan Indonesia. (chs/chs)
http://bit.ly/2WFgVds
May 12, 2019 at 11:48PM from CNN Indonesia http://bit.ly/2WFgVds
via IFTTT
No comments:
Post a Comment