Namun, rekonsiliasi itu dipandang bisa memicu pemerintahan yang gemuk dan tak efektif karena faktor loyalitas yang kurang. Selain itu, ada risiko berkurangnya pengawasan terhadap pemerintah dari pihak oposisi.
Senada, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan tak menutup kemungkinan bahwa sejumlah partai oposisi akan bergabung dengan koalisi Jokowi dengan berkaca pada Pilpres 2014. Saat itu, Partai Golkar, PAN, dan PPP yang semula oposisi berbalik mendukung Jokowi-JK.
Wares JK menyebut tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik. (CNN Indonesia/Priska Sari Pratiwi)
|
Namun, kata dia, masuknya oposisi ke kubu 01 tergantung pada Jokowi sebagai capres.
"Karena pemerintah akan datang saya tidak ikut lagi, saya tidak tahu lagi koalisi-koalisi itu. Itu tergantung ke Pak Jokowi sendiri," ujar JK.
Sejumlah parpol kubu 02 disebut-sebut mulai merapat ke kubu 01. Misalnya, PAN dan Partai Demokrat. Belakangan, Gerindra dikabarkan akan masuk kubu Jokowi setelah mendapat sejumlah posisi.Wakil Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) Faldo Maldini mengatakan tak menutup kemungkinan Prabowo Subianto mendapat jabatan dewan pertimbangan presiden (wantimpres) di pemerintahan Joko Widodo periode 2019-2022.
Dihubungi terpisah, Pengamat politik Universitas Padjadjaran Firman Manan mengamini pernyataan JK. Menurutnya, pembentukan koalisi atau rekonsiliasi politik di Indonesia kerap didasarkan pada hal-hal yang pragmatis alias kepentingan, bukan pada kesamaan ideologi.
Politikus Partai Demokrat AHY saat bertemu Jokowi di Istana. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)
|
Kepentingan politik yang dimaksud, kata dia, adalah pembagian jatah posisi di kabinet. Hal itu, kata dia, sudah dibuktikan dalam pemerintahan sebelumnya.
Artinya, partai oposisi yang kemudian mendukung pemerintah akan mendapat jatah kursi menteri atau jabatan tinggi lainnya seperti Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Menurut Firman, pembagian jatah kursi itu merupakan pengikat agar ada loyalitas dari partai di dalam koalisi.
Hanya saja, rekonsiliasi via bagi-bagi kekuasaan ini memberi sejumlah risiko. Yakni, pemerintahan akan 'gemuk'. Sebaliknya, oposisi akan semakin kurus jika hal itu terjadi. Walhasil, kontrol terhadap eksekutif akan kurang.Tidak berimbangnya komposisi parpol koalisi dengan oposisi ini, kata Firman, akan berpengaruh pada pengawasan dan kontrol terhadap pemerintahan. Oposisi, kata dia, tidak akan mampu memainkan perannya dengan optimal, terutama di parlemen.
"Gemuknya koalisi pemerintah merupakan satu masalah. Karena kita tahu selain Gerindra, ada Demokrat dan PAN yang punya sinyal untuk bergabung. Jika itu terjadi, praktis hanya PKS saja yang menjadi oposisi," ujarnya.
PKS disebut dapat keuntungan elektoral pada Pileg 2019 karena jadi oposisi penuh. (ANTARA FOTO/Widodo S Jusuf)
|
Jokowi-Ma'ruf didukung oleh sepuluh parpol pada Pilpres 2019, yakni PDIP, Golkar, PKB, PPP, NasDem, Hanura, Perindo, PKPI, PSI, dan PBB. Sementara, Prabowo-Sandi didukung oleh Gerindra, PKS, PAN, Partai Demokrat, Partai Berkarya.
Di sisi lain, Firman menyebut koalisi pemerintah tidak selalu solid di Indonesia. Parpol koalisi, katanya, bisa berbeda pandangan dengan pemerintah dalam isu-isu tertentu di parlemen. Fenomena itu, kata dia, tidak lepas dari bangunan koalisi yang didasarkan atas pragmatisme.
"Jadi koalisinya semi permanen. Bahkan sebagaian mengatakan adhoc koalisi. Artinya kita masih lihat kemungkinan bahwa nanti kalau partai secara formal bergabung ke dalam koalisi pemerintahan yang besar, bukan berarti semua isu akan mendukung pemerintah," ujarnya.Tak hanya pengawasan dan kontrol, ia menyebut Jokowi akan mendapat kritik dari publik jika terlalu banyak menempatkan politisi di dalam kabinet. Fenomena parpol koalisi tak loyal tampak pada kebijakan Partai Golkar dan PKS di DPR dalam kepemimpinan SBY periode 2009-2014. Misalnya, dalam hal RUU Pemilu.
Ilustrasi DPR. (Adhi Wicaksono)
|
"Demokrasi kita akan terganggu, karena berarti koalisi Jokowi itu akan jauh [lebih] besar, mungkin di atas 90 persen kekuatan di parlemen," katanya.
"(Kondisi ) itu sama saja dengan pemerintah ke depan itu tidak terkontrol oleh oposisi yang memadai di parlemen," ujar Abbas.
Pengamat politik The Habibie Center Bawono Kumoro juga menyarankan Prabowo untuk menjadi oposisi bagi Jokowi-Ma'ruf.
"Pak Prabowo terutama Gerindra saya kira lebih baik untuk menjadi oposisi artinya sebagai pihak kontrol pemerintahan pak Jokowi-Ma'ruf selama 5 tahun kedepan," kata Bawono saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Menurutnya, oposisi tidak kalah terhormatnya dengan pemenang pemilu selama kritik yang diberikan konstruktif dan konsisten.
[Gambas:Video CNN] (jps)
https://ift.tt/2XBzfHZ
June 28, 2019 at 02:31PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2XBzfHZ
via IFTTT
No comments:
Post a Comment