Pria asal Liberia itu tampak menonjol di antara sosok-sosok berseragam lainnya di lapangan Gebyuran, Joglo, Jakarta Barat. Maklum. Ia seorang pemain bintang yang pernah malang-melintang di dunia sepak bola Indonesia --membela Persipura, Sriwijaya, hingga Persija-sementara rekan-rekannya jagoan bola antar-kampung.
Di skuat yang dibela Boakay, Denis FC, tak ada satu pun pemain yang kualitas maupun reputasinya setara dengan pria berpostur jangkung tersebut.Saat sesi pemanasan jelang laga, Boakay juga sempat jadi buruan penonton yang ingin berfoto bareng. Mulai dari anak kecil sampai orang dewasa.
Sebagian diladeni Boakay, tapi tak sedikit pula yang ditolak mentah-mentah. Pemain asal Liberia itu pun memberikan penolakan halus.
"Nanti saja setelah pertandingan selesai," ucap Boakay dengan gestur tangan menolak.
Di atas lapangan kampung yang rumputnya botak di sana-sini dan penuh kerikil itu Boakay tampil atraktif. Dia terlihat nyaman dan menikmati perannya, menjemput bola dari lini tengah, tak terganggu debu-debu yang dibawa kemarau panjang.
Sorak-sorai penonton yang bergemuruh setiap kali Boakay menguasai bola jadi suntikan semangat. Pemain yang setahun terakhir ini memilih berkarier di Liberia benar-benar tampil hampir tanpa cela.
Di babak pertama, pemain 33 tahun itu berhasil membobol gawang Tunas Betaw. Sorakan bertambah kencang.
Saat masuk ke babak kedua, Boakay menciptakan momen langka yang jarang terjadi di turnamen tarkam. Di membobol gawang lawan lewat tendangan salto, memanfaatkan umpan silang rekan setimnya.
Sorak-sorai ratusan penonton pun terdengar jelas melihat gol kelas dunia tersebut.
Boakay meresponsnya tak berlebihan. Ia hanya memeluk rekan setim dan melakukan perayaan seadanya.
Beberapa detik berselang, Boakay berlari ke salah satu sisi kerumunan penonton. Tampak seorang penonton melambai-lambaikan uang berwarna biru seperti pecahan Rp50 ribu. Dia mengambil uang itu dan memasukannya ke bagian dalam kaus kaki.
Sore itu, Boakay dua kali memasukan uang ke kaus kakinya.
Ilustrasi turnamen tarkam. Tak jarang pemain asing seperti Boakay Eddy Foday bermain di level ini. (CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Pesona Bintang Laga Kampung
Cerita Boakay dan turnamen antar-kampung adalah kisah yang familier di Indonesia - negara yang kerap disebut-sebut sebagai gila sepak bola.
Setiap tahunnya tarkam ramai digelar di berbagai sudut Indonesia. Tak terkecuali Jakarta.
Tarkam pun jadi hiburan yang tidak kalah menyenangkan meski dari segi infrastruktur terkesan seadanya: tanpa stadion berkapasitas besar, tanpa penerangan memadai, atau bangku cadangan yang keren.
Jangankan kursi single seat, tribune untuk para penonton juga tak ada. Mereka cukup berjejal di pinggir lapangan untuk melihat para jagoan berlaga, menyelipkan badan di antara para pedagang asongan dadakan. Jika lelah, tinggal duduk manis di pinggir dengan beralaskan koran atau lembar daun pisang.
'Panggung' komentator pertandingan pun tidak kalah sederhana: dari bangku tangga kayu yang diposisikan lebih tinggi dari para pemain. Mirip seperti kursi wasit tengah di bulutangkis.
Meski secara infrastruktur serba minimal, gengsi sepak bola tarkam tidak kalah dengan kompetisi profesional sekelas Liga 1 atau Liga 2. Hal ini dikarenakan gairah, atmosfer, hingga pemain yang merumput di turnamen tarkam punya kualitas bagus.
Tarkam disaksikan oleh berbagai kelompok usia, mulai dari anak-anak hingga paruh baya. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
|
Fenomena pemain 'profesional' unjuk gigi di turnamen tarkam sudah terjadi sejak era 1980-an. Tepatnya saat kompetisi di tanah air masih bernama Perserikatan - dan kemudian muncul Galatama.
Pemain-pemain beken era itu seperti trio Persija Jakarta, Kamarudin Betay, Marzuki Nyak Mad, dan Tonny Tanamal ikut bermain di turnamen tarkam. Ketiganya suatu waktu pernah meramaikan pertandingan di Lapangan Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat.
Tak ketinggalan nama-nama seperti Toyo Haryono hingga Aples Tecuari. Kedua mantan pemain Timnas Indonesia era 1990-an itu sempat mengasah kemampuan di laga antar-kampung.
Saat itu, Toyo dan Aples masih berstatus pemain muda. Keduanya dibawa ke turnamen tarkam ketika sedang menimba ilmu di Diklat Ragunan.
"Tarkam yang saya tahu sudah ada sejak 1972, waktu itu saya nonton pas kelas tiga SD. Tapi waktu itu namanya bukan tarkam tapi hanya turnamen cabutan tapi gengsinya tetap tinggi," ujar Namin Mukri Setiawan, pria yang sudah jadi komentator tarkam sejak akhir 80-an.
Menurut pria yang akrab disapa Bang Wawan, munculnya sebutan turnamen tarkam baru terjadi pada pertengahan tahun 80-an. Penamaan ini secara alamiah terjadi seiring makin maraknya turnamen kelas tarkam di kampung-kampung.
"Dulu lebih ke persahabatan bukan turnamen seperti sekarang. Sebutan turnamen tarkam baru muncul pertengahan 80-an dan mulai ada pemain yang tampil di kompetisi profesional," ucap Wawan.
Tren pemain profesional yang bermain di tarkam langgeng hingga kini. Hampir setiap tahun ada pemain berlabel profesional yang meramaikan turnamen tarkam.
Bahkan, sejak keran pemain asing dibuka pada pertengahan tahun 90-an, gairah pencinta sepak bola tarkam makin terpuaskan dengan aksi para pemain impor.
Mereka yang tampil di turnamen tarkam didominasi pemain asal benua Afrika atau Amerika Latin.
Praktis, hanya beberapa pemain dari benua Asia maupun Eropa yang pernah diketahui bermain tarkam.
Turnamen tarkam acap kali digelar bukan di lapangan berstandar internasional. (CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Salah satu pemain yang kerap wara-wiri di turnamen tarkam adalah pemain asal Liberia, Boakay Eddie Foday. Pemain yang mulai dikenal publik sepak bola saat memperkuat Persiwa Wamena itu jadi andalan di lini depan tim tarkam, Denis FC.
"Saya main untuk jaga kondisi saja, biar tidak lupa juga. Saya juga tidak mau main kalau lapangan tidak bagus," ucap Boakay saat ditemui CNNIndonesia.com pada Oktober lalu.
"Saya tidak takut cedera, karena enggak mungkin saya cedera. Saya ini orangnya fokus, jadi saya main pakai kepala [otak]. Kalau [bola] bisa saya ambil, baru saya ambil, tapi kalau tidak saya biarkan saja."
Pemain berdarah Mali yang kini sudah jadi Warga Negara Indonesia, Mahamadou Alhadji, juga sering bermain di turnamen tarkam. Pemain yang sempat membela PSMS Medan di Liga 2 2019 itu mengaku sudah ratusan kali berlaga di level tersebut.
Dia mengklaim bukan bermain tarkam bukan karena tergiur tambahan penghasilan. Ia pun menyadari risiko tinggi bermain bola dari kampung ke kampung.
"Saya tidak pernah main untuk uang. Jadi uang bukan yang utama karena saya hanya ingin jaga kondisi. Karena menurut saya tarkam ini tidak terlalu beda dengan kompetisi [profesional]," kata Alhadji.
"Cuma harus hati-hati jangan sampai cedera atau kenapa-kenapa. Di tarkam itu kita enggak pernah tahu akan melawan siapa saat pertandingan," ia melanjutkan.
Meski demikian, Alhadji tak membantah ada rekan-rekannya yang berasal dari benua Afrika main tarkam karena alasan ekonomi. Suatu hal yang dianggapnya wajar.
"Mungkin dengan itu mereka bisa bayar kos, mungkin bayar tempat tinggal, bisa bayar makan, dan bayar tagihan juga," aku Alhadji.
Ilustrasi sepakbola tarkam. Jumlah penonton yang hadir di suatu turnamen dipengaruhi oleh kualitas pemain di turnamen tersebut. (CNN Indonesia/Safir Makki)
|
'Banjir' pemain asing di turnamen tarkam ini berdampak langsung dengan animo penonton. Semakin banyak pemain asing yang tampil dalam sebuah tim maka otomatis penonton semakin tersedot.
Jika penonton membeludak, pihak panitia turnamen tarkam bisa menjual hingga 1000 tiket pertandingan. Hitungan sederhananya, panitia bisa mengantongi setidaknya sampai Rp5 juta untuk satu pertandingan.
Kehadiran pemain asing pun tidak lepas dari sosok juragan atau pemilik tim tarkam. Pria di balik layar ini bukana hanya membuat roda turnamen tetap bergulir, tapi juga memastikan pamornya tak meredup.
Para juragan ini dikenal 'gila' dalam menyalurkan hobi di sepak bola. Bahkan mungkin sukar diterima nalar orang kebanyakan. Mereka tidak keberatan merogoh kocek hingga ratusan juta rupiah demi membentuk tim bertabur bintang di turnamen tarkam. Padahal, uang hadiah yang diterima tidak sebanding. Untuk turnamen di Jakarta saja hanya menyediakan Rp30 juta sampai Rp50 juta untuk satu
Alasan menjaga gengsi dan pamor pribadi maupun tim yang bikin para juragan tarkam rela menghamburkan uang.
"Sebetulnya uang itu bukan tujuan tapi lebih ke pamor, nama besar. Biasanya tim yang menjuarai tarkam makin dikenal," ujar Holi Ridwan, bos West Junior yang bisa menghabiskan Rp10 juta per pertandingan untuk membayar pemain.
Pada akhirnya, eksistensi tarkam ini pula yang menjadi wadah untuk memamerkan status sosial sebagai sebagai orang kaya di daerah mereka.
Umar, 32 tahun, pemilik klub sepakbola Bonkar FC ini mulai eksis di sepakbola tarkam sejak 2016.(CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
|
Tak Habis Dimakan Zaman
Tarkam jadi sebuah cerminan bahwa sepak bola bisa jadi olahraga yang murah meriah. Tak perlu tiket hingga Rp50 ribu hingga Rp100 ribu untuk menonton aksi para pemain bola. Hanya merogoh kocek Rp5 ribu, orang-orang bisa menyaksikannya.
Uniknya, turnamen tarkam dengan segala kesederhanaannya ini tetap lestari.
Di mata pemerhati sejarah, Dhahana Adi, turnamen tarkam bisa terus ada karena memunculkan gengsi lokal bagi penduduk setempat.
"Karena bisa dibilang 'agama'-nya masyarakat dan bisa dinikmati. Sepak bola bisa dimainkan di gang-gang. olahraga yang tidak melihat kelas dan di kampung bisa dimainkan," ungkap pria yang akrab disapa Ipung tersebut.
Senada dengan Ipung, pemerhati sepak bola Indonesia, Dhion Prasetya, menilai sepak bola tarkam bisa menjadi sebuah fenomena karena olahraga ini adalah kegiatan yang dicintai rakyat.
"Sepak bola tarkam di Jawa dengan di Maluku berbeda, di Jakarta juga lain. Kalau di Maluku, dulu bermain bola menggunakan kelapa," kata Dhion.
"Yang pasti budaya tarkam tumbuh dan berkembang seiring dengan sepak bola nasional. Dengan animo yang besar, rakyat bertanding hingga antarkampung."
Turnamen tarkam juga memiliki komentator pertandingan layaknya laga-laga profesional. (CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Sementara dosen sejarah dari Universitas Negeri Surabaya, Rojil Nugroho Bayu Aji, mengungkapkan hingga kini belum ada yang menjelaskan asal muasal sepak bola antarkampung dari segi literatur.
Akan tetapi, Rojil menyampaikan dari sisi historis bisa ditarik garis lurus keterkaitannya dengan kepopuleran sepak bola itu sendiri.
"Semua orang bisa memainkan sepak bola dengan segala keriuhannya di penjuru pelosok kampung. Karena kepopuleran di level manapun dan bagi siapapun, maka di tiap kampung terdapat perkumpulan sepak bola yang dibentuk oleh mereka," kata Rojil.
Rojil menjelaskan warga di kampung menggelar pertandingan tarkam dengan berbagai alasan. Bisa dalam rangka acara lokal atau sekadar laga persahabatan mengasah kemampuan.
"Jauh sebelum era perserikatan dan profesional, hal itu sudah wajar dilakukan. Bahkan di era kolonial, pertandingan sepak bola berbarengan dengan pasar malam dengan format Steden Wedstrijden atau pertandingan antarkota. Semenjak kemerdekaan, pertandingan antarkampung menjadi semacam perayaan untuk memeriahkan peringatan kemerdekaan," ucap sejarawan olahraga tersebut.
Terkait tarkam yang bisa eksis hingga kini, Rojil menjelaskan hal tersebut melalui kacamata Johan Huizinga, seorang sejarawan Belanda yang menemukan pendekatan budaya modern."Secara filosofis kata Huizinga, manusia adalah homo ludens yang artinya mahluk bermain, dan olahraga adalah sebuah permainan. Jadi sepak bola tarkam menjadi sarana untuk merayakan permainan sepak bola," ujar Rojil.
"Kepopuleran sepak bola menembus batas dan sekat. Pesonanya menyihir siapapun untuk memainkannya, menontonnya, sampai mengomentarinya."
(bac/vws)
https://ift.tt/34mHZBX
November 26, 2019 at 03:02PM from CNN Indonesia https://ift.tt/34mHZBX
via IFTTT
No comments:
Post a Comment