Sejak awal 2018, ambisi memiliki mayoritas saham pada perbankan nasional gencar dilancarkan oleh bank-bank asal Jepang. Bank terbesar di Jepang, The Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ (BTMU) misalnya, ingin menguasai 73,8 persen saham PT Bank Danamon Indonesia Tbk secara bertahap. Hal ini kemungkinan bakal dilakukan dengan menggabungkan kantor cabang bank asing miliknya di Tanah Air dengan Bank Danamon.
Langkah serupa juga dilakukan oleh bank terbesar nomor dua di Negeri Sakura itu, yaitu Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) yang meningkatkan sahamnya di PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN). Peningkatan porsi kepemilikan ini dilakukan dengan menggabungkan BTPN dengan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI).
Tak hanya dari Jepang, tren akuisisi juga datang dari para investor Korea Selatan. Salah satunya LINE Financial Asia yang dikabarkan berencana mengakuisisi sekitar 20 persen saham PT Bank KEB Hana Indonesia.
Lalu juga ada aksi pengambialihan saham sebesar 22 persen PT Bank Bukopin Tbk oleh KB Kookmin Bank. Selanjutnya, Industrial Bank of Korea (IBK) juga dikabarkan akan mengakuisisi PT Bank Mitraniaga Tbk dan PT Bank Agris Tbk.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam mengatakan aksi akuisisi dan merger oleh pemain asing cukup 'ngetren' tahun ini di industri perbankan. Kinerja bank nasional cukup 'tokcer' membuat minat asing tetap tinggi memasuki industri perbankan di Tanah Air.
"Kenapa? Karena industri perbankan Indonesia menawarkan keuntungan yang tertinggi di Asia, bahkan di dunia," ucap Piter kepada CNNIndonesia.com, Senin (31/12).
Hal ini lantaran ada jarak yang cukup tinggi antara suku bunga pinjaman atau deposito yang diberikan kepada pemilik dana dengan suku bunga kredit yang ditawarkan kepada masyarakat. Berdasarkan catatan Piter, hal ini membuat NIM perbankan tumbuh di kisaran 5 persen secara industri. Sementara NIM bank di negara maju dan beberapa negara tetangga Indonesia, hanya sekitar 2-3 persen.
"Spread margin suku bunga yang begitu besar di perbankan Indonesia dapat mengeruk keuntungan yang sangat tinggi, walaupun beroperasi tidak cukup efisien," ujarnya.
Akuisisi memang menjadi satu-satunya pilihan bagi investor asing untuk memasuki industri perbankan di Tanah Air. Hal ini lantaran izin untuk mendirikan bank baru cukup sulit. Selain itu, ada batas maksimal kepemilikan asing.
Sesuai peraturan OJK, investor asing hanya dapat memiliki 40 persen saham perbankan di Tanah Air. Mereka baru boleh meningkatkan porsi kepemilikan jika melakukan merger (penggabungan) bank.
Ekonom dari Bank Mayapada Indonesia Myrdal Gunarto menambahkan, tren merger dan akuisisi juga muncul karena peluang pasar keuangan di Indonesia. Maklum saja, dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa dan dominasi penduduk usia muda, maka jasa sistem pembayaran dan kredit bisa menjadi bahan 'jualan' yang laris manis.
"Apalagi saat ini rasio jumlah tabungan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih cukup rendah," ungkapnya.
Selain itu, tren ini juga menguat karena bank terus membutuhkan modal agar bisa memenangkan persaingan di pasar domestik, terutama di tengah masifnya pembangunan infrastruktur. "Banyak proyek pemerintah yang membutuhkan pendanaan perbankan. Hal ini membuat bank membutuhkan tambahan modal untuk ekspansi," tuturnya.
Di sisi lain, ada pula pengaruh dari kebijakan moneter dari masing-masing bank sentral asal negara investor. Misalnya, bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) yang tengah melonggarkan kebijakan moneternya, sehingga likuiditas bank di negara tersebut cukup berlimpah dan siap mengalir ke Tanah Air.
Ilustrasi kegiatan perbankan. (CNNIndonesia/Adhi Wicaksono)
|
Sementara untuk tahun ini, keduanya sepakat bahwa tren merger dan akuisisi akan tetap berlangsung, meski ada kemungkinan kinerja bank-bank domestik tak sebagus tahun lalu. Kinerja perbankan kemungkinan tak akan sebaik tahun lalu lantaran NIM perbankan yang kemungkinan akibat keagresifan Bank Indonesia (BI) mengerek bunga acuan sepanjang tahun lalu yang mencapai 175 basis poin (bps) menjadi 6 persen.
Kenaikan itu sebenarnya sudah ditindaklanjuti para perbankan dengan turut mengerek bunga deposito dan kreditnya. Namun, mayoritas bank masing 'mengorbankan diri' untuk mengerek bunga kredit lebih lambat ketimbang kredit demi menjaga laju pertumbuhan kredit.
"Apalagi pada 2019, bunga acuan BI diyakini akan kembali naik. Kenaikan ini biasanya membuat NIM akan menyempit. Proyeksinya NIM menyempit hingga kurang dari 100 bps," kata Piter.
Kendati begitu, Piter menilai untuk saat ini penyempitan NIM sejatinya belum memberi dampak pada berkurangnya gairah merger dan akuisisi pada industri perbankan nasional. Sebab, lagi-lagi bila dibandingkan dengan beberapa negara lain, NIM bank nasional masih cukup menggiurkan.
"Pada 2019, rasanya proses merger dan akusisi tetap akan diramaikan oleh perbankan swasta," imbuhnya.
Hal ini karena sumber likuiditas bank swasta lebih rentan mengetat ketimbangkan para bank pelat merah. Di sisi lain, pemerintah tengah mendorong percepatan perusahaan induk (holding) sektor perbankan dan keuangan. Pada rencana itu, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bakal menggabungkan empat bank pelat merah, yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.
Bank BUMN dinilai akan lebih fokus mematangkan rencana pembentukan holding, ketimbang melakukan akuisisi. "Meski ini tetap tidak membatasi aktivitas akusisi oleh bank-bank BUMN," tuturnya.
Di sisi lain, menurut Piter, penyempitan NIM akibat kenaikan bunga acuan BI sebenarnya merupakan hal yang positif. Sebab, bank dituntut kian kreatif dan efisien dalam memangkas biaya operasional guna mempertahankan bunga bersih yang kian tipis akibat tingginya persaingan.
"Memang harus didorong untuk memperkecil NIM dengan efisiensi, karena NIM yang terlalu lebar tidak sehat, tidak menguntungkan bagi perekonomian," terangnya.
Senada dengan Piter, Myrdal bilang, tren merger dan akusisi masih akan terjadi pada tahun ini karena kondisi yang dihadapi industri bank nasional tak jauh berbeda dengan tahun kemarin. "Tetap menarik pula di mata investor," tekannya.
Sementara Anggota Dewan Komisioner sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Kristiyana mengatakan ada beberapa rencana merger dan akuisisi yang sudah masuk ke meja otoritas, meski enggan dirincinya satu per satu.
Namun, ia memastikan pada tahun ini rencana merger dan akuisisi masih akan diwarnai oleh dua bank asing asal Jepang, yaitu BTMU dan Sumitomo. Sebab, rencana merger dan akuisisi keduanya pada tahun lalu sebenarnya belum 100 persen rampung.
"BTPN dan SMBCI akan terjadi tahun ini, kalau tidak meleset di tahun depan (2019). Kalau MUFG (BTMU) yang akan meminta persetujuan dari Jepang," jelasnya beberapa waktu lalu.
Ke depan, Heru bilang OJK terus mendukung konsolidasi yang bakal dilakukan bank-bank nasional, baik dengan sesama bank domestik maupun asing, seperti dari Jepang dan Korea Selatan.
"Siapapun investor yang akan membawa bank dan kuat, maka silakan masuk. Ini akan membantu perekonomian. Tapi kami juga ingin investor lokal untuk melakukan penguatan di sektor perbankan," pungkasnya. (agi)
http://bit.ly/2SwLMqr
January 02, 2019 at 03:08PM from CNN Indonesia http://bit.ly/2SwLMqr
via IFTTT
No comments:
Post a Comment