Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai sudah saatnya Indonesia menurunkan tarif pajak badan usaha karena negara-negara berkembang memiliki kecenderungan melakukan kebijakan serupa.
Terlebih, tarif PPh badan Indonesia yang sebesar 25 persen dari Penghasilan Kena Pajak (PKP) saat ini masih lebih tinggi dibanding negara-negara sesama penghuni Asia Tenggara.
Di Malaysia, tarif PPh badan berada di level 24 persen. Sementara, Thailand dan Vietnam masing-masing berada di angka 22 persen dan 20 persen. Menurut Ani, panggilan akrabnya, hanya Filipina saja yang memiliki tarif pajak lebih tinggi dibanding Indonesia, yakni 30 persen.
"Semua ingin menurunkan tarif pajak, dan kami juga dengar masukan dari berbagai pihak. Lalu, kami mengkaji kemungkinan penurunan PPh badan, komparasinya dengan emerging countries (negara berkembang)," jelas Sri Mulyani.
Hanya saja, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengaku tak ingin penurunan tarif yang dilakukan Indonesia ke depan berbuah menjadi 'perang' fiskal dengan negara-negara berkembang.
Indonesia, lanjut dia, tetap memegang teguh kesepakatan 20 negara dengan ukuran ekonomi terbesar di dunia (G-20), bahwa berlomba-lomba menurunkan tarif pajak (race to the bottom) hanya akan menimbulkan dampak negatif ke masing-masing negara.
Meski demikian, proses penurunan tarif PPh badan ini masih memerlukan proses panjang karena mewajibkan pemerintah mengubah aturan undang-undang (UU).
"PPh badan ini membutuhkan perubahan UU yang butuh proses panjang, bukan hanya sekadar Instruksi Presiden atau Peraturan Menteri Keuangan," jelasnya.
Tak hanya menyesuaikan diri, penurunan tarif PPh badan juga dimaksudkan agar rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat. Sejauh ini, rasio pajak tercatat di angka 11 persen dan diharapkan bisa terdongkrak 12,2 persen tahun ini.
"Memang, dari dulu kami sudah ingin menurunkan tarif," tegas Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Robert Pakpahan.
Saat ini, beleid mengenai tarif PPh badan tercantum pada pasal 17 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Artinya, sudah sembilan tahun tarif PPh badan Indonesia tidak berubah.
Tarif pajak sebesar 25 persen ini diberlakukan sejak 2010 silam, menggantikan ketentuan awal UU Nomor 36 Tahun 2008, yakni 28 persen yang dimulai sejak 2009. Sebelumnya, tarif PPh badan juga sempat mencapai 30 persen dari PKP.
Tak hanya pemerintahan Joko Widodo, pihak oposisi politik pun berencana menurunkan tarif PPh. Dalam visi misi dan rencana kebijakannya, Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno juga berambisi memangkas tarif PPh agar rasio pajak Indonesia meningkat.
Penurunan tarif PPh badan hanya akan bisa membawa manfaat jika disiapkan dengan matang. Sebaliknya, persiapan yang buruk malah berpotensi mendatangkan risiko bagi masyarakat.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai penurunan tarif PPh tak selamanya berdampak baik terhadap rasio pajak dalam jangka pendek. Pernyataan tersebut dilontarkan setelah berkaca dari kasus di beberapa negara lain, seperti Rusia, Thailand, dan China.
Rusia pernah menurunkan tarif PPh badan dari 24 persen ke 20 persen pada 2009. Hanya saja, rasio pajak Negeri Beruang Merah itu turun dari 16 persen terhadap PDB menjadi 13 persen terhadap PDB. Begitu pula dengan Thailand, penurunan tarif PPh yang sempat drastis dari 30 persen menjadi 23 persen menyebabkan rasio pajak turun dari 17,6 persen ke 16,5 persen.
Berkaca dari pengalaman, Indonesia ternyata mengalami hal yang sama. Penurunan PPh badan dari 30 persen ke 25 persen pada 2010 lalu nyatanya menggerus rasio pajak dari 13 persen menjadi hanya 10,9 persen.
Namun, ada juga contoh sukses penurunan tarif PPh badan, seperti China. Penurunan tarif PPh badan di negara tirai bambu itu turun dari 33 persen ke 25 persen. Hal itu justru mendongkrak rasio pajak dari 9,9 persen menjadi 10,3 persen dari PDB.
Demikian pula halnya dengan Prancis. Tarif PPh badan yang turun dari 26 persen ke 24 persen bisa mengerek rasio pajak dari 21,25 persen ke 21,4 persen dalam setahun.
Menurut Yustinus, tarif PPh memang perlu disesuaikan sebagai sinyal bahwa Indonesia siap menghadapi kompetisi penanaman modal dengan negara lain.
Namun, ia mengingatkan pemerintah agar hati-hati membuat formulasi. Jangan sampai penurunan tarif PPh badan berbuah penurunan rasio pajak terhadap PDB dalam jangka pendek.
"Dalam jangka menengah dan panjang, penerimaan akan naik, tapi tetap hati-hati, karena dasar pengenaan PPh ini kan laba," jelas Yustinus.
(CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)
|
Berbenah Sistem Dulu
Secara teori, penurunan tarif PPh badan seharusnya akan memperluas basis pajak. Namun, jika peluang ini tidak dimanfaatkan dengan baik, penurunan tarif menyebabkan penerimaan pajak dalam jangka pendek bisa terpangkas. Maka itu, pemerintah perlu melakukan antisipasi.
Menurut dia, faktor terpenting sebelum memangkas PPh adalah sistem administrasi perpajakan yang harus dibuat sesederhana mungkin agar masyarakat mau membayar pajak.
Selain itu, jika administrasinya bagus, DJP bisa membidik potensi penerimaan pajak selain PPh karena kini basis perpajakan sudah kian meluas.
"Tarif memang perlu disesuaikan, meski memang penurunan tarif PPh ini bukan satu-satunya faktor (pendorong rasio pajak), tetapi tetap harus hati-hati formulasi dan implementasinya, karena sekali turun, sulit naik lagi," terang dia.
Kalau pemerintah tetap kukuh menurunkan tarif pajak, hal itu seharusnya dilakukan dalam dua tahap. Salah satunya, menurunkan tarif PPh dari 25 persen ke 22 persen. Jika dalam dua tahun evaluasinya sudah bagus, maka tarif PPh badan bisa diturunkan ke 18 persen.
Indonesia, imbuh Yustinus, harus bergerak ke angka tersebut agar bisa dibandingkan dengan Singapura yang menetapkan angka tarif PPh badan 17 persen.
Hanya saja, proses legislasi bisa menjadi hambatan agar penurunan tarif PPh bisa terjadi. "Apalagi hak legislasi mutlak dibutuhkan karena harus revisi UU," tambah dia.
Setali tiga uang, Ketua HIPMI Tax Center Ajib Hamdani mengatakan korelasi antara penurunan tarif pajak dan rasio pajak merupakan sesuatu yang masih diperdebatkan. Sebab, dalam jangka pendek, penerimaan tarif PPh malah akan menurunkan rasio penerimaan pajak terhadap PDB, meski penurunan tarif PPh menjadi angin segar bagi investasi.
"Kalau dari sudut pandang wajib pajak dan dunia usaha, serta investasi, kebijakan penurunan tarif PPh itu akan sangat positif dan jadi insentif," imbuh dia.
Maka itu, pemerintah seharusnya melakukan langkah mitigasi yang jitu. Salah satunya adalah dengan memperluas basis pajak dengan cara menambah jumlah Wajib Pajak (WP) terdaftar, atau kerap disebut ekstensifikasi pajak.
Ajib berdalih, jika basis pajaknya masih sama, maka penurunan tarif PPh badan justru malah menurunkan rasio pajak. Jika basis pajak diperluas, penerimaan setidaknya masih bisa aman.
Terlebih, pemerintah harus teliti lantaran rasio pajak Indonesia sudah kepalang rendah dibanding negara lainnya. Lagi-lagi, masalah administrasi berperan penting di dalam menambah jumlah WP.
"Harus tax base (basis pajak) dulu yang diperluas, baru ke penurunan PPh badan. Ini dari sudut pandang kepentingan pengamanan penerimaan. Ini hal yang harus dilakukan terlebih dulu," imbuh dia.
Basis pajak juga disebut sebagai variabel penting sebelum pemerintah mematok angka penurunan tarif PPh badan. Sebetulnya, bisa saja pemerintah langsung mematok angka penurunan tarif PPh badan tanpa mempedulikan basis pajak. Asal, pemerintah nantinya tak boleh uring-uringan kalau penerimaan pajak tak capai target.
Setiap tahun, Indonesia selalu mengalami kekurangan penerimaan (shortfall) pajak. Termasuk di tahun lalu, di mana penerimaan pajak sebesar Rp1.521,4 triliun hanya tercatat 94 persen dari targetnya Rp1.618,1 triliun.
"Kalau pemerintah berani ambil risiko ada penurunan penerimaan untuk jangka pendek, tarif PPh bisa diturunkan. Tapi lebih aman kalau menambah tax base dulu, baru dikalkulasi potensi penerimaaannya," katanya.
Meski masih menjadi perdebatan, pengusaha sepertinya yakin bahwa ini akan menjadi solusi yang menyenangkan (win-win) baik bagi dunia usaha maupun pemerintah.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P. Roslani mengatakan sudah saatnya PPh badan turun dari 25 persen ke kisaran 17 hingga 18 persen.
Indonesia seharusnya mengikuti kebijakan pemerintahan AS yang baru saja menurunkan tarif PPh badan dari 35 persen ke 21 persen tahun lalu.
Menurut dia, penurunan tarif pajak akan menciutkan pundi-pundi penerimaan negara, tetapi justru akan menjadi rangsangan kuat bagi investasi. Pada akhirnya, hal itu bisa mendongkrak penerimaan pajak di masa depan. Dia berhadap, reformasi perpajakan tak berhenti pada kebijakan amnesti pajak. (lav/bir)
http://bit.ly/2SKrmKy
January 09, 2019 at 10:33PM from CNN Indonesia http://bit.ly/2SKrmKy
via IFTTT
No comments:
Post a Comment