Itulah omelan ibu yang selalu saya ingat saat masuk ke toko baju. Pesan itu selalu membuat saya minder saat nafsu belanja membuncah, terutama belanja barang fesyen.
Sudah dua tahun saya dan ibu terpisah antara jarak dan waktu. Ibu tinggal di Jakarta, Indonesia, sementara saya tinggal di Brisbane, Australia untuk menempuh pendidikan di University of Queensland.
Selama di Jakarta rasanya belanja baju, sepatu atau tas bisa dengan gampang saya lakukan. Pada saat itu saya memandang sikap konsumtif berarti memuaskan diri.
Barang fesyen yang murah dan kekinian alias fast fashion menjadi kelemahan saya. Faktor gengsi membuat saya merasa kalau harus mengenakan sesuatu yang sedang tren.
Tapi tinggal di perantauan berarti harus bersahabat dengan hemat. Saya harus pintar-pintar mengalokasikan dana agar memuaskan diri tak berujung menyesali diri.Menjalani bulan pertama di Brisbane mengganggu batin saya akan keinginan berbelanja pakaian, sepatu dan tas, walau secara sadar kegiatan itu tidak terlalu dibutuhkan.
Omelan ibu dan kewajiban untuk berhemat membuat saya lalu sadar bahwa belanja barang fesyen tidak perlu sampai konsumtif.
Saya juga sadar kalau tidak perlu mengeluarkan banyak uang hanya demi memuaskan mata orang lain. Ditambah lagi dengan isu mengenai masalah tumpukan sampah dan tenaga kerja yang mendapat upah di bawah standar yang ditimbulkan akibat konsumsi fast fashion berlebihan, seperti dalam film dokumenter The True Cost.
Mengamati gaya hidup warga di sini, ternyata mereka tidak malu untuk belanja barang fesyen bekas dan menukartambah barang fesyen mereka.
Setelah mengumpulkan banyak informasi, akhirnya saya mengetahui kalau saya bisa belanja dengan cara tersebut di pertokoan yang ada di kawasan West End.
Di suatu hari saya memberanikan diri mendatangi kawasan tersebut sambil membawa satu tas berisi setumpuk pakaian yang kondisinya masih bagus namun tidak lagi saya pakai.
Saat tiba di West End, saya mencari toko yang bertuliskan 'Second Hand Shop'. Ternyata tidak sulit dicari.
Penjaga toko lalu mengecek kondisi pakaian yang saya bawa untuk memastikan kebersihan dan kelayakannya. Selesai pengecekan, seluruh pakaian yang saya bawa diterima dan ia mempersilakan saya mencari pakaian bekas yang bisa saya bawa pulang.
Aturannya satu barang bekas dari saya untuk satu bekas dari toko ini.
Tidak seperti toko barang bekas yang barangnya rusak atau kotor, nyatanya barang-barang di sini berkualitas baik dan tertata rapi, meski saya tetap harus mencucinya untuk menjamin kebersihannya.
Beda toko beda aturan. Ada toko yang tak menerima barang-barang dari merk fast fashion. Ada yang menerapkan aturan maksimal 40 barang untuk ditukar 40 barang. Ada juga yang menerapkan harga beli sekitar AUS$20 - AUS$50 (sekitar Rp203 ribu - Rp503 ribu) per barang.Bisa menemukan tempat belanja yang tak membuat saya merasa bersalah saat mengeluarkan uang tentu saja menyenangkan. Lemari baju saya juga tak lagi sesak karena kini saya hanya menyimpan pakaian, sepatu dan tas yang saya benar-benar pakai.
Bukan cuma toko barang bekas, di Brisbane juga banyak toko yang menjual barang-barang lokal, sehingga harganya lebih murah dibandingkan barang-barang di mal besar.
Selain toko barang bekas, pasar pagi menjadi favorit saya. Mulai dari buah, sayur, kopi semua tersedia di sini dalam keadaan segar. Bagi mahasiswa seperti saya, berbelanja di tempat seperti ini sangat membantu.
Brisbane bukan hanya menjadi tempat saya untuk belajar dan meraih ilmu secara akademik, tetapi, juga untuk belajar mengontrol diri dalam aspek keinginan dan membeli apa yang dibutuhkan untuk investasi masa depan.
Dan satu hal yang pasti, dengan belanja barang yang hanya saya butuhkan berarti mengurangi kekhawatiran ibu di Jakarta.
---
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi surel berikut: ardita@cnnindonesia.com, ike.agestu@cnnindonesia.com, vetricia.wizach@cnnindonesia.com
(ard)
http://bit.ly/2HIVcOu
January 27, 2019 at 09:05PM from CNN Indonesia http://bit.ly/2HIVcOu
via IFTTT
No comments:
Post a Comment