Selain itu, sinyal positif dari kemajuan pembahasan sengketa dagang China - AS juga turut memperkuat harga minyak. Dilansir dari Reuters, Senin (21/1), harga minyak mentah berjangka dunia menguat selama tiga pekan berturut-turut.
Harga minyak mentah mentah Brent ditutup di level US$62,82 per barel atau menanjak sekitar 3,9 persen dari penutupan pekan sebelumnya di level US$60,48 per barel. Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) yang ditutup di level US$53,77 per barel pada perdagangan Jumat lalu.
Sebagai catatan, pada pekan sebelumnya,hargaWTI masih ditutupdilevel US$51,5 per barel. Artinya, dalam sepekan,WTI menguat sekitar 4,4 persen.
"Hal itu akan memberikan sinyal kepada pasar bahwa mereka (OPEC) serius," ujar Analis Price Futures Group Phil Flynn di Chicago.
Sebelumnya, pada Desember 2018 lalu, OPEC dan sekutunya sepakat untuk memangkas produksi sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) mulai Januari 2019. Kebijakan itu dilakukan untuk mendongkrak harga minyak global di tengah membanjirnya pasokan, terutama dari AS.
Selain itu, lanjut Flynn, dirilisnya rencana tersebut juga menjadi cara OPEC untuk menunjukkan kemungkinan jumlah yang dipangkas akan melebihi rencana, terutama dari Arab Saudi.
Pada Kamis (17/1) lalu, laporan bulanan OPEC menunjukkan pemangkasan telah dilakukan anggota mulai Desember 2018. Pemangkasan mengakibatkan penurunan produksi bulanan terbesar dalam dua tahun terakhir.
Selanjutnya, pasar minyak juga mendapatkan sokongan dari sinyal AS-China yang kemungkinan bakal segera mengakhiri sengketa dagangnya.
Dalam laporan Bloomberg yang dikutip Reuters, China menawarkan untuk membeli beragam produk AS. Investor menilai hal itu sebagai upaya untuk membuat kesepakatan perdagangan baru dengan Gedung Putih.
Pada Jumat (18/1) lalu, Badan Energi Internasional (IEA) menyatakan pertumbuhan produksi minyak AS bersama dengan perlambatan laju pertumbuhan ekonomi global akan menekan harga minyak.
"Pada pertengahan tahun, produksi minyak AS kemungkinan akan melampaui kapasitas produksi dari Arab Saudi maupun Rusia," ujar IEA.
IEA memperkirakan pertumbuhan permintaan minyak relatif tidak akan berubah atau mendekati level pertumbuhan 2018 yang hanya sebesar 1,4 juta bph.
(sfr/agt)
http://bit.ly/2RANVoJ
January 21, 2019 at 02:17PM from CNN Indonesia http://bit.ly/2RANVoJ
via IFTTT
No comments:
Post a Comment