"Kira-kira kurang lebihnya Rp8,5 triliun. Sebanyak Rp6,7 triliun untuk yang Palyja dan Aetra juga masih ada kalau nanti mereka mau menagih," kata anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum Nila Ardhianie di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (11/2).
Klausul yang disebutkan dalam perjanjian tersebut adalah negara memberikan jaminan keuntungan sebesar 22 persen kepada swasta apapun kondisinya. Dalam hal ini, DKI harus membagi hasil kepada swasta meskipun mereka tidak menyelesaikan target.
Namun, belakangan lewat negosiasi lanjutan, pada 2012 angka 22 persen turun menjadi 15,83 persen untuk pembayaran Aetra melalui Master Agreement.
"Sementara Palyja (angkanya) masih tetap sama. Jaminan keuntungan masih 22 persen. Itu yang kemudian oleh Pak Gubernur itu tidak adil dan negara merasa dirugikan," lanjut Nila.
Di tempat yang sama, anggota lain dari Tim Tata Kelola Air Minum, Tatak Ujiyati menjelaskan hal tersebut bakal berubah setelah pengelolaan air diambil alih Pemprov DKI. Oleh karena itu, sambungnya, upaya regenosiasi pun sedang dilakukan saat ini.
"Semakin cepat diambil alih semakin untung kita karena jaminan keuntungan berkurang," kata Tatak.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerangkan cakupan pelayanan air selama 20 tahun terakhir masih merangkak dengan lambat yakni baru sekitar 14,9%. Padahal, dalam perjanjian awal cakupan layanan masyarakat harus sekitar 82 persen per tahun 2023.
Kini, Anies telah memperpanjang masa kerja Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum yang seharusnya berakhir pada 10 Februari lalu guna melanjutkan negosiasi dengan pihak swasta soal pengelolaan air. Anies juga menugaskan tim tersebut dan PAM Jaya agar membuat Head of Agreement untuk pengubahan perjanjian awal.
"Jadi kita kasih waktu satu bulan sekitar Maret agar dibuat Head of Agreement sebagai road map yang kita komitmen bersama," ujar Anies.
(ctr/kid)http://bit.ly/2DuRX8g
February 12, 2019 at 04:13AM from CNN Indonesia http://bit.ly/2DuRX8g
via IFTTT
No comments:
Post a Comment