Mengutip beberapa sumber, awalnya Yustinus Vinck mendirikan Pasar Sabtu (yang saat ini menjadi Pasar Tanah Abang) untuk memecah kepadatan Pasar Senen yang ia dirikan lebih dulu.
Konon nama Tanah Abang diambil dari kata Pohon Nabang yang dulunya banyak tumbuh di kawasan ini. Sayangnya nasib Pohon Nabang kian susah dicari, tidak jauh berbeda dengan pepohonan yang namanya juga diambil untuk nama kawasan Jakarta, seperti pohon Kemang, Gandaria, dan Menteng.
08.00 - Perjuangan menuju Tanah Abang
Saya bertolak dari Stasiun Depok Baru tepat pukul 08.00 WIB, dan memang sengaja melupakan sarapan demi berdesak-desakan dengan macet karena ingin merasakan hype para penumpang kereta harian yakni pekerja kerah putih, kaum pedagang skala kecil, dan para pelajar.
Ternyata hype itu sama sekali tidak menyenangkan! Namun bagaimana pun saya tetap salut dengan mereka yang rutin melakukan aktivitas ini, baik terpaksa maupun dengan riang gembira, mengingat perjalanan dengan KRL Commuter Line layaknya menjalani hidup yang penuh ketidakpastian.
Foto: CNN Indonesia/Agung Rahmadsyah
|
Persis seperti apa yang saya alami hari itu, sebelum masuk ke Stasiun Pasar Minggu kereta terhenti sekitar 15 menit, entah karena apa. Kemudian saat kereta hendak masuk Stasiun Manggarai, waktu 30 menit juga terbuang begitu saja.
Untungnya banyak penumpang yang turun di Stasiun Manggarai sehingga situasi dalam kereta menjadi lebih manusiawi. Namun begitu kereta masuk di Stasiun Tanah Abang, ratusan orang sudah berjubel menanti kereta yang saya naiki dan bersiap melakoni peran drama masuk ke dalam kereta.
10.30 - Sky Bridge dan brunch
Keluar dari pintu Stasiun Tanah Abang yang lama, suasana sudah jauh lebih 'adem' karena kini ada Skybridge yang juga dimanfaatkan oleh para pedagang. Selain itu ada pula fasilitas penunjang yang gratis, seperti toilet dan bus TransJakarta Tanah Abang Explorer.
Pejalan kaki melintasi Skybridge atau Jembatan Penyeberangan Multiguna (JPM) Tanah Abang di Jakarta. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)
|
Saya langsung mengarahkan kaki menuju halte TransJakarta untuk menanti bus tiba, namun ternyata perut sudah tidak bisa dinego lagi.
Untuk meredakan lapar yang saya tunda sejak pagi, akhirnya satu porsi Kwetiaw dan satu porsi Mie Goreng di warung dekat halte Transjakarta Explorer ludes saya santap sebelum melanjutkan perjalanan.
Foto: CNN Indonesia/Agung Rahmadsyah
|
12.00 - Blok A
Menaiki bus Transjakarta Tanah Abang Explorer benar-benar membantu orang yang jarang, atau belum pernah, berkunjung ke Tanah Abang. Penumpang hanya tinggal duduk atau berdiri dalam bus dan menanti petugas Transjakarta mengumumkan blok yang akan disinggahi.
Saya sengaja memilih Blok A karena inilah tempat terakhir yang saya kunjungi dua tahun silam, saat menemani ibu saya membeli kerudung dan mukena untuk keperluan 'geng' pengajiannya.
Warga melintas di depan Pasar Blok A, Jakarta. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
|
Blok A. (CNN Indonesia/Agung Rahmadsyah)
|
Suasana di Blok A masih tetap sama, meskipun sedikit agak lebih rapi ketimbang dua tahun lalu.
Para pekerja masih berteriak untuk meyakinkan pembeli, dan para kuli melintas sembari mendorong troli berisi karung yang beratnya mampu membuat pinggang terkilir.
14.00 - Museum Tekstil
Usai menyaksikan geliat ekonomi di Tanah Abang, saya sempatkan 'meluncur' ke Museum Tekstil yang terletak sekitar satu kilometer ke arah Petamburan.
Dari namanya saja sudah bisa diduga apa saja koleksinya. Beragam tenun dan batik dari (hampir) seluruh suku bangsa di Indonesia, bisa dilihat di tempat ini.
Museum Tekstil. (CNN Indonesia/Tri Wahyuni)
|
Namun yang membuat saya gagal fokus adalah sejarah tempat ini yang dulunya merupakan vila milik orang Prancis di awal abad ke-19, sebelum berubah fungsi.
Jika melihat tata letak galeri batik, saya dapat membayangkan seperti apa 'bermartabatnya' Tanah Abang saat itu.
16.00 - Tanamur
Selain pusat perniagaan, Tanah Abang adalah saksi bisu sejarah industri hiburan di Tanah Air. Khususnya hiburan malam.
Sebuah tempat yang berada di Jalan Tanah Abang Timur, saat ini di sebelah gedung Dewan Nasional Indonesia Untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS), bernama Tanamur adalah bekas lokasi diskotek pertama di Asia Tenggara.
Foto: CNN Indonesia/Agung Rahmadsyah
|
Jika ingin tahu lebih jauh tentang sejarah tempat yang saat ini menjadi lokasi parkir kotor, mungkin bisa bertanya ke Ratna Sarumpaet yang pernah menjadi istri sang pemilik tempat sekaligus juragan tekstil Tanah Abang yakni Achmad Fahmy Alhady.
17.00 - Museum Taman Prasasti
Sekitar satu kilometer dari Tanamur, ada sebuah komplek kuburan tua bernama Museum Taman Prasasti. Saya memilih berjalan kaki untuk menuju tempat ini karena trotoar masih bebas dari sepeda motor, dan pohon-pohon yang teduh.
Museum Taman Prasasti. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
|
Koleksi prasasti nisan kuno di tempat ini merupakan pindahan dari berbagai tempat seperti Gereja Sion dan Museum Wayang.
Banyak tokoh yang disemayamkan di tempat ini, sayangnya saya tidak bisa mengeksplorasi tempat ini karena hari sudah menuju gelap dan tidak boleh ada aktivitas pengujung setelah tempat ini ditutup.
18.00 - Ayam hancur
Tidak jauh dari Museum Taman Prasasti, ada sebuah rumah makan yang arsitekturnya menyerupai bangunan tua ala Belanda. Saya tertarik mendatanginya, selain karena lapar, juga karena arsitekturnya.
Ketika saya memesan seporsi menu andalannya, yakni Ayam Hancur. Namun saat azan magrib berkumandang, seorang pelayan meminta izin untuk sejenak menghentikan aktivitasnya untuk menunaikan solat magrib.
Foto: CNN Indonesia/Agung Rahmadsyah
|
Setelah menutup tempatnya selama 15 menit, baru aktivitas niaganya kembali dilanjutkan. Secara sekilas Ayam Hancur serupa dengan Ayam Geprek, namun untungnya sambal hijaunya cukup menyelamatkan rasa.
Usai menyantap Ayam Hancur, saya memutuskan untuk berjalan kaki ke gedung baru Stasiun Tanah Abang dan kembali menggunakan kereta menuju Depok.
Jarak dari Ayam Hancur menuju Stasiun Tanah Abang kurang lebih dua kilometer, sepanjang jalan saya tidak menemukan hal yang menarik karena hanya terlihat kemacetan.
(agr/ard)
http://bit.ly/2X6Eg8p
February 17, 2019 at 06:57PM from CNN Indonesia http://bit.ly/2X6Eg8p
via IFTTT
No comments:
Post a Comment