Green Book bukan hanya sekadar musikal atau komedi. Film ini mengemas pandangan sempit para rasialis, ketimpangan sosial ekonomi, hingga hidup yang kadang tak adil, namun dengan rasa yang tetap meninggalkan perasaan bahagia.
Berlatar di era 1960-an kala hukum Jim Crow yang memisahkan warga kulit putih dan berwarna masih berlaku di Amerika Serikat, Green Book menunjukkan perjuangan komponis Don Shirley mengubah paradigma terkait perbedaan warna kulit.
Komponis keturunan Jamaika yang diperankan oleh Mahershala Ali tersebut mengadakan tur untuk tampil di sejumlah konser yang diadakan klub dan organisasi ternama warga kulit putih di kawasan Deep South, beberapa negara bagian di selatan Amerika Serikat.
Shirley tahu persis ia akan menghadapi sejumlah masalah yang berkaitan dengan ras dan warna kulit. Untuk menghadapi hal itu, ia merekrut Tony 'Lip' Vallelonga (Viggo Mortensen) untuk menjadi sopir dan penjaganya selama delapan pekan menjalani tur.
Tur itu sendiri diadakan oleh Shirley untuk mengubah pandangan warga kulit putih terhadap warga kulit hitam melalui penampilan musiknya. Tur itu diadakan di kota-kota mengikuti buku petunjuk wisata yang populer di kalangan warga kulit hitam, The Negro Motorist Green Book buatan Victor Hugo Green.
Di sisi lain, Tony yang keturunan Italia dan hidup di kalangan rasial, membutuhkan uang dengan segera mengingat pekerjaannya sebagai tukang pukul di sebuah klub tengah berhenti karena renovasi pada klub.
Awalnya, Tony ogah menjadi 'bawahan' Shirley. Namun kebutuhan akan uang membuat Tony rela disuruh, mengantar, bahkan melindungi majikannya yang berkulit hitam itu.
Selama delapan pekan bekerja bersama, melakukan perjalanan jauh, terlibat berbagai drama, Tony dan Shirley perlahan tapi pasti menjadi sepasang sahabat yang saling memahami dan melenyapkan batasan ras di antara mereka.
Mahershala Ali memerankan Don Shirley di 'Green Book'. (dok. Universal Pictures)
|
Ditulis oleh Nick Vallelonga, Brian Hayes Currie, dan Peter Farrelly, Green Book mengemas awal mula persahabatan Tony dan Shiley dengan berbobot, penuh makna, canda, emosi, dan musik yang amat menawan.
Film ini juga bukan hanya berisi kisah persahabatan yang terbangun seiring dengan perjalanan panjang keduanya, Green Book juga memasukkan banyak konteks sejarah hingga pesan moral.
Sejak awal, konflik terkait ras sudah kental terasa dalam Green Book. Dengan latar nuansa kala penerapan Jim Crook Law, penulis serta sutradara Peter Farrelly dengan halus menyelipkan sikap rasialis Tony dan keluarga serta lingkungan Italianya.
Konflik awal mulai terasa kala Tony berhadapan dengan Shirley yang berkulit hitam namun memiliki kekayaan materi jauh lebih banyak dibandingkan dirinya. Kondisi yang mengingatkan bahwa "di atas langit masih ada langit".
Viggo Mortensen sebagai Tony 'Lip' Vallelonga. (dok. Universal Pictures)
|
Keteguhan Tony untuk ogah diperintah oleh orang berwarna kulit perlahan luntur kala mengetahui kegeniusan Shirley dalam bermusik klasik, yang mana biasanya mahir dimainkan oleh musisi asal Eropa alias berkulit putih.
Bahkan pandangan rasial Tony tinggal kenangan kala semakin mengenal Shirley yang berpegang teguh pada harga diri, moralitas, dan kental akan humanistis. Bak air yang menggerus bebatuan, kelembutan dan kepekaan Shirley pun melunakkan pemikiran Tony.
Namun di sisi lain, sosok Shirley yang digambarkan dengan apik oleh Ali sejatinya menyimpan kesedihan, kesepian, dan rasa putus asa. Dirinya yang berkulit hitam namun memainkan musik orang kulit putih dan secara pendidikan jauh lebih tinggi dibandingkan golongannya, membuat dia terjebak dan 'tak memiliki kaum'.
Shirley pun belajar banyak dari Tony. Meski kasar, kerap berbicara sembarangan, Tony adalah sosok yang setia dan rela berkorban. Kemampuan Tony dalam menghadapi masalah, meski kadang 'grasak-grusuk', mampu melengkapi Shirley.
Terlepas dari materi yang berbobot, aksi kedua aktor utama dalam Green Book sejatinya adalah faktor yang membuat film berdurasi 130 menit ini sama sekali tak membosankan.
Aksi Viggo Mortensen sebagai sosok Tony Lip bak camilan mecin, gurih dan menyenangkan. Hampir sebagian besar tawa yang muncul kala menonton Green Book berasal dari aksi serta logat ala Italia yang piawai dibawa Mortensen.
Sedangkan aksi Ali sebagai sosok Shirley memang amatlah menawan dalam film ini. Memang, Ali tidak mengubah wujudnya seperti sosok Don Shirley yang asli. Namun dalam film ini, Ali mampu membawa 'jiwa' Shirley yang meninggal pada 2013 lalu nyaris tanpa cela.
Ibarat kata, sosok Mahershala Ali dalam film ini seperti bukan dirinya sebagai seorang aktor, melainkan seorang musisi genius yang berkulit hitam dan memiliki pemikiran mendalam terkait segala hal dalam hidupnya. Dan entah bagaimana, itu jauh lebih penting dibanding hanya sekadar mengubah rupa dan meniru gerak-gerik.
Film 'Green Book' diinspirasi dari kisah nyata. (dok. Universal Pictures)
|
Tak heran bila Mahershala Ali berhasil membawa pulang berbagai piala ajang penghargaan berkat perannya. Maka akan jadi pertanyaan besar bila dirinya tak membawa Oscar 2019 berkat Green Book. Mengutip Tony, "Ali's like a genius."
Akan tetapi, yang membuat saya merasakan bahwa film ini bukan hanya sekadar layak mendapatkan nominasi juga piala Oscar atau bisa saya bilang sebagai salah satu film terbaik dalam sedekade terakhir, adalah rasa yang Green Book tinggalkan.
Rasa yang ditinggalkan oleh Green Book melebihi sekadar kata "puas", "sedih", "bahagia", apalagi "terhibur". Sulit menggambarkan dampak film ini selain mampu menyisakan senyuman lebar usai meninggalkan bioskop. Bila saya boleh mengutip guru 'bebersih' Marie Kondo, Green Book itu "sparks joy".
Atas segala sajian yang ada dalam Green Book, dan menimbang saingannya dalam kategori Best Picture Academy Awards ke-91, saya berani menempatkan film ini sebagai unggulan untuk membawa piala Oscar tertinggi itu meskipun saingan terberatnya adalah 'Roma' ataupun 'A Star Is Born'.
Film Green Book telah tayang di Indonesia sejak 30 Januari 2018. (end)
http://bit.ly/2UztRQE
February 02, 2019 at 02:30AM from CNN Indonesia http://bit.ly/2UztRQE
via IFTTT
No comments:
Post a Comment