Direktur Bisnis Regional Jawa bagian Timur, Bali dan Nusa Tenggara Djoko Abumanan mengatakan 24 rencana pembangunan pembangkit EBT ini seluruhnya terkendala masalah pendanaan. Pasalnya, 24 proyek ini masih belum menyerahkan jaminan proyek kepada perbankan.
Padahal, batas waktu kewajiban pembiayaan (financial closing) sudah melebihi tenggat waktu yang diperbolehkan. Sesuai kontrak PPA, pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) diperkenankan melakukan financial closing 12 bulan sejak PPA diteken.
Oleh karenanya, PLN akan memperpanjang tenggat waktu financial closing tersebut. Hanya saja, ia tak menyebut tenggat baru yang diberikan oleh PLN. "Bagaimana 24 pembangkit ini mendapatkan pendanaan ini kendalanya macam-macam," jelas Djoko, Senin (18/3).
Kemudian, ia merinci beberapa masalah yang dihadapi pembangkit tersebut. Menurutnya, ada satu kasus di mana studi kelayakan mengenai pembangkit terlalu dangkal, sehingga bank tak berani memberi jaminan kepada proyek.
Kemudian, ada keluhan juga dari perbankan terkait kelayakan satu proyek pembangkit EBT yang dinilai terlalu besar secara kapasitas dan tidak mampu diserap PLN. Jika kondisinya sudah demikian, PLN berpotensi kena denda take or pay, atau denda karena tidak bisa menyerap listrik IPP sesuai PPA yang sudah berlaku.
"Tapi kalau kapasitasnya turun, berarti harus ada penyesuaian harga listrik lagi. Kalau kapasitas desainnya turun tapi tidak mengubah harga listrik yang kami beli itu tidak masalah, tapi tentu akan ada persoalan jika harga berubah," terang dia.
Tak berhenti sampai situ, masalah juga muncul secara administrasi. Djoko mencontohkan, ada satu proyek pembangkit EBT yang salah menulis kapasitas dari 3x3 Megawatt (MW) menjadi 3,3 MW. Akibatnya, sang IPP tak mendapatkan jaminan dari perbankan.
[Gambas:Video CNN]
"Untuk hal seperti ini kami sudah bantu IPP mengubah administrasinya ke regulator, yakni Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Selama permintaannya sesuai dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG), maka tentu kami bantu," terang dia.
Meski ada hambatan di dalam realisasinya, namun ini tak sedikit pun mengubah target pembangkit EBT. Di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2019 hingga 2028, pembangkit EBT harus mencapai 23 persen dari bauran energi pada 2025 mendatang.
Selain itu, PLN juga yakin masalah ini bisa selesai karena sebelumnya ada 10 proyek EBT yang tak bisa melakukan financial closing, namun akhirnya berani mengajukan jaminan dan diterima oleh perbankan.
"Kami akan menawarkan pendampingan agar proyek bisa berjalan," ujar dia.
Pada 2017 silam, PLN melakukan 70 PPA untuk pembangkit listrik tenaga EBT dengan total kapasitas sebanyak 1.214 MW. Hingga saat ini, tujuh pembangkit sudah beroperasi, 29 masih dalam konstruksi, 10 proyek sudah menyerahkan perencanaan, dan dua proyek terpaksa diterminasi.
Di tahun ini, rencananya akan ada 570 MW pembangkit EBT yang akan beroperasi yang diantaranya terdiri dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Rajamandala sebesar 47 MW, PLTA Poso I sebesar 120 MW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Jeneponto 72 MW. (glh/agt)
https://ift.tt/2Y5eFgD
March 19, 2019 at 02:37AM from CNN Indonesia https://ift.tt/2Y5eFgD
via IFTTT
No comments:
Post a Comment