Ia mengatakan walaupun nantinya ada proyek yang didanai dengan menggunakan pendanaan Program Belt and Road, tapi tidak ada uang pemerintah yang disertakan dalam proyek tersebut. Pendanaan yang dipakai dalam pelaksanaan proyek menggunakan skema business to business.
Pemerintah kata Luhut, hanya terlibat dalam pelaksanaan studi kelayakan, aspek lingkungan hidup, nilai tambah, dan pemanfaatan tenaga kerja lokal.
"Memang ada yang memperingatkan kami adanya debt trap (jebakan utang). Itu untuk yang skemanya tidak seperti kita, kita tidak melakukan perjanjian antar pemerintah, tapi skemanya B to B. Itu sangat baik untuk mengurangi jebakan ini," katanya dalam pernyataan yang dikeluarkan di Jakarta pekan ini.
Sebagai informasi pemerintah saat ini memang tengah melirik pendanaan dari Program Jalur Sutra Modern yang dijalankan China untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. Untuk mendapatkan pendanaan proyek tersebut, pemerintah beberapa waktu lalu menyiapkan 28 proyek bernilai US$91,1 miliar atau setara Rp1.296 triliun untuk bisa dibiayai dengan dana program tersebut.
Proyek tersebut antara lain, Pelabuhan Hub dan Kawasan Industri Internasional Kuala Tanjung, Kawasan Industri Sei Mangkei, Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Sei Mangkei berkapasitas 250 megawatt (Mw) dan Kemitraan Strategis (strategic partnership) Bandara Internasional Kualanamu.
Selain itu, ada juga proyek pengembangan Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional Tanah Kuning, Kawasan Industri Bitung, dan Taman Teknologi Pulau Kura-Kura.
Proyek tersebut ditawarkan dalam KTT Belt and Road yang digelar di China April ini. Tawaran diberikan di tengah kritik dari beberapa kalangan yang menuduh Program Jalur Sutra Modern China dilakukan memang untuk menjerat negara kecil dan berkembang dengan tumpukan utang.
Salah satu studi yang dilakukan oleh Pusat Pembangunan Global, satu lembaga peneliti AS, menemukan "kekhawatiran serius" terkait keberlanjutan utang asing di delapan negara penerima dana Jalur Sutra ini. Negara itu adalah Pakistan, Djibouti, Maladewa, Mongolia, Laos, Montenegro, Tajikistan dan Kyrgyztan.
Studi ini memaparkan bahwa biaya proyek kereta China-Laos, sebesar US$6,7 miliar, adalah hampir setengah dari PDB negara-negara Asia Tenggara.
Di Djibouti, IMF telah memperingatkan bahwa negara ini menghadapi "risiko tinggi akibat tekanan utang" karena utang negara itu naik dari 50 persen dari PDB pada 2014 menjadi 85 persen pada 2016.
(agt/agt)http://bit.ly/2vt2WeA
April 29, 2019 at 05:03PM from CNN Indonesia http://bit.ly/2vt2WeA
via IFTTT
No comments:
Post a Comment