Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal melihat indikator investasi pada tahun ini berpotensi gagal menopang perekonomian. Ia memperkirakan target pertumbuhan investasi sebesar 7 persen bakal jauh panggang dari api.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat investasi hanya tumbuh 5,3 persen menjadi Rp195,1 triliun pada kuartal I 2019. Meski tumbuh dari kuartal I 2018, namun pertumbuhannya jelas masih jauh dari target yang diharapkan pemerintah.
"Bisa-bisa, investasi sampai akhir tahun mungkin hanya sekitar 5 persenan saja. Ini tidak bisa menjadi penopang utama bagi pertumbuhan ekonomi," ungkap Fithra kepada CNNIndonesia.com, Selasa (30/4).
Perhitungannya, ekonomi hanya akan tumbuh sekitar 5,12 persen atau berada di bawah target pemerintah sebesar 5,3 persen dan lebih rendah dari realisasi pertumbuhan ekonomi pada 2018 sebesar 5,17 persen.
Menurut Fithra, realisasi investasi pada tahun ini akan 'melempem' karena sentimen ekonomi global hanya mampu melahirkan aliran modal asing yang berjangka pendek bagi negara berkembang, termasuk Indonesia. Aliran modal tersebut masuk melalui portofolio di pasar modal.
Sementara, modal asing yang berjangka panjang justru enggan masuk ke Tanah Air karena sentimen dari domestik, yaitu Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Hal tersebut membuat investor cenderung menunggu dan melihat (wait and see) kondisi Indonesia usai Pilpres. Sebab, calon pemimpin selanjutnya suka tidak suka menjadi pertimbangan utama bagi kelangsungan investasi di dalam negeri.
Hal ini pun, katanya, sudah terkonfirmasi dari realisasi investasi berbentuk Penanaman Modal Asing (PMA) yang minus 0,9 persen atau sekitar Rp107,9 triliun pada kuartal I 2019. "Bahkan dari 2-3 tahun lalu, investor cenderung wait and see, mereka pilih tempat yang lebih prospektif," ucapnya.
[Gambas:Video CNN]
Di sisi lain, sambungnya, permasalahan deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia menambah keyakinan investor untuk mengalihkan aliran modalnya ke negara-negara tetangga, misalnya Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Malaysia. Hal tersebut, menurut dia, cenderung terjadi pada investor dari China dan Hong Kong.
"Industri di Vietnam bisa menjanjikan ongkos yang lebih rendah dari Indonesia, kebijakan yang lebih konsisten, kemudahan investasi, dan lainnya," ujarnya.
Kendati begitu, ia mengatakan pertumbuhan investasi mendapat topangan dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang tumbuh 14,1 persen menjadi Rp76,4 triliun. Namun, Fithra menekankan kontribusi investasi domestik sejatinya belum bisa diandalkan untuk menopang pertumbuhan investasi secara keseluruhan pada perekonomian.
Menurut dia, realisasi investasi domestik cenderung musiman. Ia mencontohkan, investasi pada industri ritel biasanya hanya meningkat jelang momen Ramadan dan Lebaran.
"Maka, perlu diperhatikan agar investasi ini sustainable dengan memperbaiki kualitas industri secara menyeluruh," terangnya.
Senada, Ekonom Institute for Development on Economic (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara melihat kinerja PMA terkena sentimen Pilpres. Hal ini membuat komitmen investasi yang sejatinya sudah sempat dinyatakan belum juga direalisasikan karena menunggu kepastian orang nomor satu di Indonesia untuk periode lima tahun ke depan.
"Tapi ada masalah lain, misalnya soal OSS yang konflik dengan PTSP di berbagai daerah. Sistem perizinan yang setengah-setengah ini jadi membingungkan investor," jelasnya.
Sementara Bhima mengaku tidak kaget bila PMDN justru cukup 'tokcer'. Sebab, realisasi investasi itu masih didukung oleh aliran modal untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur.
Data BKPM mencatat kontribusi investasi di sektor konstruksi mencapai 22,1 persen atau Rp192 triliun. Selebihnya, disumbang oleh sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi 14,6 persen serta listrik, gas, dan air 11,8 persen.
Lebih lanjut, ia memperkirakan realisasi pertumbuhan investasi hanya akan berada di kisaran 5-5,5 persen atau tidak mencapai target pemerintah. Sebab, pengumuman resmi hasil Pilpres baru akan diumumkan pada Mei 2019 yang notabenenya sudah memasuki kuartal II 2019.
Artinya, ada potensi aliran investasi pada semester I 2019 tidak cukup bagus. Sedangkan mengejar target investasi hanya pada semester kedua pun juga sulit. "Apalagi kuartal II ada Ramadan dan Lebaran, biasanya PMA rendah. Kuartal III dan IV mungkin ada harapan kalau stabilitas kurs terjaga," jelasnya.
Namun, Bhima menggarisbawahi, BKPM sejatinya bisa berperan lebih untuk mengubah komitmen investasi menjadi realisasi. Asal, BKPM bisa menyelesaikan dengan cepat berbagai sengkarut perizinan antara pusat dan daerah dalam sisa waktu tersisa pada tahun ini.
Berbeda, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam melihat realisasi pertumbuhan investasi yang tumbuh sebesar 5,3 persen pada kuartal I 2019 justru bisa menjadi sinyal baik. Sebab, menurut Piter, setidaknya investasi sudah mulai tumbuh dari sebelumnya di kisaran 4,1 persen pada 2018.
"Ini sesuai perkiraan, di mana awal tahun investasi cenderung masih melambat, terutama karena dampak Pemilu. Investasi diperkirakan akan kembali melaju kencang ketika proses Pemilu selesai," tuturnya.
Kendati baru akan kencang usai Pemilu, namun ia meyakini laju investasi akan lebih tinggi dan bisa mendekati target pertumbuhan sebesar 7 persen karena Pemilu berjalan lancar. Hal ini memberi indikasi kepuasan pasar dan investor yang tercermin dari respons pasar yang cukup baik usai Pemilu. Menurutnya, hal tersebut memberi sinyal investasi sampai akhir tahun bisa lebih baik. (uli/agi)
http://bit.ly/2GK1HNv
May 01, 2019 at 03:22AM from CNN Indonesia http://bit.ly/2GK1HNv
via IFTTT
No comments:
Post a Comment