Kesan yang selalu melekat dalam benak saya waktu itu tentang Sukabumi, mungkin sampai saat ini, adalah keasrian alam dan budayanya. Namun jujur saja, saya masih belum punya referensi tentang kota Sukabumi sampai tahun 2017 selain dari sinetron Keluarga Cemara dan cerita istri saya.
Pertama kali menapakkan kaki di kota ini tahun 2018, tepatnya di kawasan Stasiun Sukabumi, saya merasakan euforia yang sama setiap kali mengunjungi "rumah kedua" yaitu Malang.Meskipun letak Stasiun Sukabumi sangat jauh berbeda dengan Stasiun Malang Kota Baru, karena Stasiun Sukabumi berada di dekat pasar yang lalu lintasnya hampir pasti semrawut akibat angkot yang ngetem sembarangan, namun udara segar dan wajah sumringah masih cukup foya-foya di sini.
Saat ini Kota Sukabumi sudah mulai "dihiasi" oleh hotel dan kafe-kafe modern, bahkan ruang alternatif juga mulai tumbuh di tempat yang merayakan hari jadinya setiap tanggal 1 April ini.
Sayangnya saat saya ke Kota Sukabumi beberapa waktu lalu, waktunya tidak cukup tepat untuk menikmati kelengangan jalan.
Saat itu perjalanan pagi saya menuju Taman di dekat Hotel Selabintana terpaksa dianulir, lantaran ada kunjungan dari Cawapres nomor urut 02 ke sebuah pesantren di kawasan Selabintana, tepatnya dekat kantor Radar Sukabumi.
11.00 - Jembatan Gantung Situ Gunung
Saya tiba di Stasiun Sukabumi sekitar pukul 09.30 WIB, kereta api Pangrango kelas ekonomi yang saya tumpangi dari Stasiun Bogor Paledang bertolak tepat pukul 07.50 WIB. Sepanjang perjalanan, saya sama sekali tidak merasakan halangan.
Menurut saya, menuju Sukabumi dengan naik kereta api adalah pilihan yang tepat untuk menghindari kemacetan dari pintu keluar tol di kawasan Cigombong hingga Kota Sukabumi.
Awalnya tujuan saya ke Kota Sukabumi kali ini adalah sebuah taman di dekat Hotel Selabintana, yang terletak di kawasan kaki Gunung Gede. Bagi saya udara sejuk adalah salah satu obat yang mujarab untuk menghilangkan penat.
Namun Jalan Selabintana hari itu nyaris menyerupai mimpi buruk. Angkot yang saya naiki benar-benar tidak bergerak selama nyaris 20 menit akibat acara yang kental aroma politik.
Jembatan Gantung Situ Gunung. (Foto: CNN Indonesia/Agung Rahmadsyah)
|
Akhirnya saya memutuskan menghubungi teman yang bekerja di Jembatan Gantung Situ Gunung untuk memastikan keberadaannya. Untungnya, teman saya itu masih berada di kawasan Kota Sukabumi sehingga saya punya kesempatan untuk nebeng ke Jembatan Gantung Situ Gunung.
Tanpa pikir panjang saya langsung turun dari angkot dan memesan ojek online ke kawasan Secapa untuk bertemu teman, dan meluncur ke Situ Gunung.
Jembatan Gantung Situ Gunung terletak di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, sebenarnya jika ingin menuju ke tempat ini lebih dekat turun di stasiun Cisaat dan lanjut naik angkot menuju kawasan Situ Gunung. Atau jika tergesa bisa juga menggunakan jasa ojeg, tentunya dengan tarif yang perlu dinegosiasikan.
Berhubung saya tidak punya rencana ke Jembatan Gantung Situ Gunung, akhirnya saya hanya menghabiskan waktu bersama teman di warung dekat kantor pengelola dan berjalan menuju area welcome drink Jembatan Gantung sembari melihat hutan di sana.
Di tengah perbincangan, teman saya menuturkan area Glamping di dekat Curug Sawer akan segera dibuka tahun ini.
Ia juga mengajak untuk bermalam di area Glamping, namun karena sudah ada rencana lain hari ini saya terpaksa menolak ajakan yang sesungguhnya amat menggiurkan itu.
Namun sebagai gantinya saya mengajaknya makan siang di pusat kota Sukabumi, dan saya berjanji untuk menginap di kawasan Glamping dekat Curug Sawer suatu hari.
13.30 - Makan siang di Rumah Mesra
Hanya perlu waktu satu jam jika ingin menuju kawasan pusat Kota Sukabumi dari Jembatan Gantung Situ Gunung, dengan menggunakan kendaraan pribadi dan lalu lintas tidak padat.
Saya memilih Rumah Mesra karena penasaran dengan unggahan foto seorang teman di Jakarta, yang sempat mengadakan acara untuk segmen anak muda di tempat ini.
Menu makan siang di Rumah Mesra. (Foto: CNN Indonesia/Agung Rahmadsyah)
|
Ruang alternatif yang berada di Jl. Surya Kencana No.21, ini rupanya menempati bangunan tua bekas Belanda. Sebagai ruang alternatif, menu makanan jelas bukan atraksi utama.
Saya pun akhirnya hanya memesan nasi dengan telor dadar dan kornet dengan segelas es teh manis, sedangkan teman saya memesan bakso aci dan teh tawar.
Jika ingin mencari menu makan siang yang memanjakan mata dan tenggorokan, maka Rumah Mesra bukan pilihan yang tepat. Tapi berhubung saya tertarik dengan konten kreatif yang ada di dalamnya, maka menu makanan bukan masalah.
Rumah Mesra merupakan ruang alternatif bagi para pelaku industri kreatif, entah itu musik street art, fotografi, dan lainnya. Hal ini bisa dilihat dari mural dan grafiti yang menjadi bagian inti bangunan ini.
15.00 - Pemandian air panas Cikundul
Usai santap siang, saya memutuskan untuk mengunjungi pemandian air panas Cikundul di Kecamatan Baros. Kali ini saya menggunakan taksi online karena saat itu gerimis. Teman saya juga harus kembali ke Situ Gunung untuk melanjutkan pekerjaan.
Jarak dari Rumah Mesra ke pemandian air panas Cikundul tidak jauh, hanya sekitar sembilan kilometer jika menilik dari aplikasi peta digital.
Setibanya di sana saya disambut oleh cuaca cerah yang berbeda dengan pusat kota Sukabumi. Tanpa pikir panjang, saya memutuskan untuk membeli tiket masuk yang dibanderol Rp8.000 untuk dewasa.
Kolam air dingin di Cikundul. (Foto: CNN Indonesia/Agung Rahmadsyah)
|
Saya penasaran dengan tempat ini karena mendadak viral beberapa saat Lebaran tahun lalu. Hal ini tidak lepas dari ulah Generasi Pesona Indonesia (Genpi) Sukabumi yang membuat gelaran Pasar Cikundul.
Tempat ini cukup menyenangkan bagi saya, karena ada dua buah kolam dengan pesona yang berbeda. Kolam air dingin di bagian atas berlatar belakang pegunungan, sementara untuk kolam air panas berlatar belakang Sungai Cimandiri.
17.30 - Lapangan Merdeka Sukabumi
Sebenarnya ada angkutan kota untuk menuju kawasan kota Sukabumi dari pemandian air panas Cikundul, namun saya kembali memiliki taksi online karena populasi angkot yang semakin berkurang menjelang sore hari.
Lapangan Merdeka. (Foto: CNN Indonesia/Agung Rahmadsyah)
|
Kali ini tujuan saya adalah alun-alun merdeka. Tempat ini menjadi ruang publik terbesar di Kota Sukabumi, beragam aktivitas dilakukan warga di tempat ini khususnya sore hari. Mulai dari duduk-duduk di pinggir lapangan, latihan baris-berbaris, berlari atau berjalan mengitari lapangan, bermain basket atau voli, berlatih bela diri, hingga skate board.
Aktivitas yang terakhir saya sebut di atas nampaknya justru mendapat cukup banyak perhatian dari para pengunjung lapangan Merdeka.
19.00 - Analog Koffiehuis
Untuk menghabiskan malam di Sukabumi saya sengaja memilih Analog Koffiehuis dengan alasan, lagi-lagi, sebuah ruang alternatif untuk warga Sukabumi. Selain itu saya juga menikmati 'fasilitas' memainkan piringan hitam yang boleh diputar oleh para pengunjung.
Malam itu saya cukup beruntung karena bisa bertemu dengan pemilik Sukabumi Music Store, pria yang bertanggung jawab terhadap koleksi-koleksi CD, kaset, buku, hingga piringan hitam yang ada di sana.
Berhubung saya yang belum cukup lapar, akhirnya memutuskan untuk memesan beberapa minuman dan kudapan untuk menemani perbincangan bersama teman baru saya malam itu.
Kudapan dan minuman di Analog Koffiehuis. (Foto: CNN Indonesia/Agung Rahmadsyah)
|
Megahnya lagi, sebelum memulai obrolan ia sempat menyetel piringan hitam milik band rock legendaris Indonesia, God Bless, yakni salah satu album terbaik mereka berjudul Semut Hitam.
Mengingat kami sama-sama penggemar musik, obrolan kami malam pun berputar di area musik dan hal-hal yang tidak bisa dipisahkan darinya. Hingga saat lagu ciptaan (alm) Jockie Soerjoprajogo (mantan Keyboardist God Bless) yang berjudul 'Suara Kita' berkumandang, saya memutuskan untuk menyimak lirik yang ia buat tahun 31 tahun silam.
"Haruskah saling binasa haruskah bunuh sesama.
Demi ambisi, demi kuasa, demi harta... Angkat senjata.
Mainkan saja gitarmu yang keras, pekakkan telinga dunia.
Walau bising petir di angkasa, biar saja."
[Gambas:Video CNN]
(agr/ard)
http://bit.ly/2ULgkoP
April 28, 2019 at 04:34PM from CNN Indonesia http://bit.ly/2ULgkoP
via IFTTT
No comments:
Post a Comment