Pertamina mengelola Wilayah Kerja (WK) luar negeri melalui anak usaha PT Pertamina Internasional EP (PIEP). Awalnya, Pertamina mengelola operasi di empat negara yakni Irak, Aljazair, Malaysia, dan Iran.
Namun, setelah Pertamina mengakuisisi perusahaan Perancis Maurel et Prom 2017 silam, kini kelolaan Pertamina bertambah di Kanada, Kolombia, Gabon, Italia, Myanmar, Nigeria, dan Tanzania.
Kendati demikian, hasil penjualan minyak dari operasi Pertamina dari luar negeri ini tidak pernah tercatat ke arus pendapatan primer. Padahal, bila dicatat di dalam neraca pendapatan primer, hasilnya bisa mengurangi defisit transaksi berjalan. Apalagi, hasil produksi minyak luar negeri Pertamina ternyata diekspor lagi ke negara selain Indonesia.
"Bank Indonesia (BI) dulu juga sudah minta ke Pertamina untuk memasukkan hasil investasinya di luar negeri ke pendapatan primer, tapi tidak pernah direspons. Padahal, bisa menambah neraca pendapatan primer minimal mencapai US$450 juta setahun," jelas Darmin, Jumat (24/5).
Angka US$450 juta dalam setahun tentu bukan angka yang main-main. Sepanjang tahun 2018, neraca pendapatan primer defisit sebesar US$30,42 miliar dan bikin transaksi berjalan defisit sebesar US$7,13 miliar.
Jika pendapatan primer dari operasi Pertamina bertambah US$450 juta, maka defisit pendapatan primer bisa membaik jadi US$29,97 miliar dan transaksi berjalan jadi defisit US$6,68 miliar.
"Namun bisa jadi angka pendapatan primer yang masuk ini lebih tinggi, karena ini kan hasil ekspor produksi Pertamina ke negara lain. Defisit pendapatan primer di neraca berjalan akan kurang, dan berpengaruh juga ke neraca pembayaran," jelas dia.
Selain memasukkan hasil investasi Pertamina ke neraca pendapatan primer, efek negatif dari defisit neraca migas juga akan ditekan melalui pembelian minyak dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam negeri oleh Pertamina. Ini sejatinya sudah dilakukan oleh perusahaan pelat merah tersebut di awal tahun ini, di mana ada 11 KKKS yang sudah bersedia menjual minyaknya ke Pertamina.
"Jadi di transaksi berjalan, memang ekspor crude oil akan turun, tapi impor bisa berkurang dari dalam. Meskipun dampaknya jika dihitung dari dolar AS ini sepertinya tidak banyak," jelas dia.
Sekadar informasi saja, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai impor minyak pada April 2019 sebesar US$1,44 miliar Angka ini melonjak dibandingkan tahun lalu US$1,3 miliar.
Namun, impor migas antara Januari hingga April sejatinya turun dari US$2,32 miliar menjadi US$2,23 miliar.
Secara keseluruhan, neraca perdagangan periode April 2019 defisit sebesar US$2,5 miliar. Realisasi itu anjlok dibandingkan dengan neraca perdagangan Maret 2019 yang surplus US$540,2 juta.
Sementara dikonfirmasi terpisah, Direktur Utama PT Pertamina Internasional EP (PIEP) Denie S Tampubolon mengungkapkan produksi minyak perseroan di luar negeri tahun lalu terdiri dari minyak sebanyak 102 ribu barel per hari (bph) dan gas 299 MMSCFD. Produksi tersebut berasal dari Aljazair, Malaysia, Irak, Gabon, dan Tanzania.
Sebagian dari produksi minyak tersebut, senilai US$470 juta, dibawa ke Indonesia . Adapun transaksi antara PIEP dan Pertamina tidak melibatkan transaksi layaknya jual-beli namun bersifat pindah buku.
"Yang dibawa ke Indonesia minyak dari Aljazair dan Malaysia, kami rencanakan supaya lebih banyak lagi yang masuk ke Indonesia," ujar Denie melalui keterangan tertulisnya kepada media.
Tahun ini, produksi minyak dan gas perseroan dari luar negeri ditargetkan mencapai 160 ribu barel setara minyak per hari (boepd).
"Sejauh ini kami perkirakan bisa dicapai," jelasnya.
[Gambas:Video CNN]
(glh/sfr)
http://bit.ly/2wkz9oQ
May 25, 2019 at 06:37AM from CNN Indonesia http://bit.ly/2wkz9oQ
via IFTTT
No comments:
Post a Comment