"Jaksa Agung harus bertanggung jawab atas kejadian korupsi di tubuh Kejaksaan. Karena peristiwa ini sudah berulang, maka Jaksa Agung sebaiknya mengundurkan diri karena telah gagal memastikan Kejaksaan bebas dari korupsi," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui siaran pers yang diterima CNNIndonesia.com.
Berdasarkan data ICW dalam kurun waktu 2004 - 2018, setidaknya ada tujuh Jaksa yang terlibat praktik rasuah dan terjaring oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini, menurut Kurnia, menandakan bahwa proses pengawasan di internal Kejaksaan tidak berjalan secara maksimal.
Kurnia mengungkapkan modus korupsi yang dilakukan oleh oknum Jaksa memiliki pola. Mulai dari 'janji' pemberian Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKP2), pemilihan Pasal dalam surat dakwaan yang lebih menguntungkan terdakwa, serta pembacaan surat tuntutan yang hukumannya meringankan terdakwa.
Terakhir, KPK menetapkan Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Agus Winoto sebagai tersangka dugaan suap penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat tahun 2019. Selain itu, dua oknum jaksa yang ikut terjaring operasi tangkap tangan (OTT), yakni Yadi Herdianto dan Yuniar Sinar Pamungkas, diserahkan penanganannya kepada Kejaksaan Agung.
Dari tangan Yadi, KPK menyita uang senilai Sin$8.100. Dia diketahui merupakan perantara suap Sendy Perico (Pengusaha) kepada Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Agus Winoto. Sementara itu, KPK menyita uang sebesar Sin$20.874 dan US$700 dari tangan Yuniar.
Keduanya bakal diproses secara etik di pengawasan dan perkara pidananya di Pidana Khusus Kejagung.
Terkait hal tersebut, Kurnia keberatan. Menurut dia, terdapat tiga argumentasi yang menguatkan dan mendukung bahwa KPK merupakan lembaga yang paling tepat untuk menangani kasus korupsi penegak hukum.
Pertama, berdasarkan pasal 11 huruf a Undang-undang KPK, disebutkan bahwa KPK memiliki kewenangan dalam menangani perkara yang melibatkan aparat penegak hukum.
"Pada operasi yang KPK (tangani), beberapa oknum yang tertangkap memiliki latar belakang sebagai Jaksa. Maka, KPK secara yuridis mempunyai otoritas untuk menanganinya lebih lanjut," tutur dia.
Kemudian, dalam UU KPK juga, lembaga antirasuah itu secara gamblang disebut sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Oleh karena itu, terang Kurnia, tidak boleh ada lembaga atau pihak mana pun yang mengintervensi penegakan hukum yang sedang ditangani KPK.
"Apabila dalam penanganan perkara ada pihak yang mencoba intervensi, dapat dianggap menghalang-halangi proses penegakan hukum (obstruction of justice) dengan ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun," ujar Kurnia.
Selanjutnya, Kurnia meminta agar Kejaksaan Agung mengurungkan niat untuk menangani oknum jaksa yang terjerat OTT. Sebab, menurut dia, penanganan perkara harus terbebas dari konflik kepentingan.
"Sebaiknya Jaksa Agung melakukan perbaikan di internal. Karena penangkapan oknum Jaksa di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta adalah bentuk penyelematan integritas Kejaksaan di mata publik," ungkap dia.
Setidaknya, lanjut dia, langkah KPK dapat dimaknai juga sebagai upaya bersih-bersih internal Kejaksaan dari pihak-pihak yang mencoreng martabat Kejaksaan. (rhs/lav)
https://ift.tt/2XHZa0E
June 30, 2019 at 02:07PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2XHZa0E
via IFTTT
No comments:
Post a Comment