Pages

Sunday, September 29, 2019

Fahri Hamzah Blak-blakan soal Jokowi dan KPK

Wawancara Khusus

Ramadhan Rizki, CNN Indonesia | Senin, 30/09/2019 07:34 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota DPR periode 2014-2019 berakhir. Namun kerja-kerja mereka mendapat catatan kritis dari publik. Mulai dari ruang rapat yang sepi, kerja legislasi yang tidak produktif hingga kualitas UU yang dianggap buruk. Dan, yang paling mendapat sorotan tentu saja pemilihan Irjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK 2019-2023 serta pengesahan Revisi Undang Undang KPK menjadi UU.

Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 Fahri Hamzah menjawab semua persoalan itu dalam wawancara khusus bersama CNNIndonesia.com.

Data ICW per April 2019, DPR periode ini hanya mengesahkan 26 RUU dari 189 RUU Prolegas. Rata-rata 5 RUU per tahun. Apakah butuh waktu begitu lama untuk membuat dan mengesahkan RUU? 

Sekali lagi ini adalah cara melihat yang perlu diperbaiki. DPR tidak bisa dinilai dari akumulasi jumlah pekerjaannya karena pada dasarnya itu pekerjaan yang politis sifatnya. Kadang-kadang dia menambah, kadang kadang dia mengurang. Undang-undang, misalnya, kadang-kadang ditambah kadang-kadang dikurang, berkurang. Itu semua basisnya adalah aspirasi. Kadang-kadang setuju kadang-kadang tidak setuju, maka tidak ada di dunia itu basis apa nama itu penilaian kita kepada legislasi itu pada jumlah, tapi kualitas daripada aspirasi yang ditampung dalam proses kinerja itu.

Undang-undang itu ada yang inisiatif DPR, ada yang usulan DPD dan juga ada yang inisiatif pemerintah atau presiden. Nah, biasanya kalau usulan pemerintah itu, pemerintah melihat ada persoalan urgen dalam perjalanan pemerintah dalam mekanisme dan manajemen pemerintah.

Jadi ada kritik masyarakat kenapa DPR itu nampak lambat di antaranya karena pembuat undang-undang itu meskipun di dalam konstitusi dikatakan kuasa pembuat undang-undangnya ada di DPR, tapi karena dia diusulkan oleh lembaga lain kadang-kadang itu yang membuatnya lama. Makanya saya mengusulkan pada waktu itu pembahasannya atau pembuatan undang-undang itu domainnya DPR aja agar bisa betul-betul dihitung kinerjanya dan itu hanya memerlukan kesepakatan di antara partai politik.

Anggota Dewan juga sering sekadar mengisi absen saat rapat paripurna atau rapat di komisi. Bukankah ini jadi salah satu indikator kinerja?

Itu yang saya bilang, menilai anggota dewan juga enggak bisa dengan melihat kehadirannya, sebab kehadiran yang real itu sebenarnya adalah kehadiran ketika dia bekerja, dan bekerjanya dewan ini tidak hanya di ruang sidang, kadang-kadang di luar sidang juga pada saat dia kunjungan. Makanya, kayak begini di ujung-ujung nih banyak kunjungan, terutama ke daerah sehingga dia tidak hadir di paripurna.

Problemnya kalau kita tidak menghitung kehadiran dia di paripurna, atau menghitung kehadiran dia di paripurna, tapi tidak menghitung kehadiran dia di daerah pemilihannya, kasihan juga padahal dia melaksanakan tugas untuk bertemu dengan konstituen, misalnya, itu juga bagian dari tugas.

Kita memerlukan satu perspektif yang baik untuk menilai kualitas kelembagaan dewan, bukan berarti tidak ada kelemahannya, ada kelemahannya dan kita terus menerus memperbaiki kelemahan dewan itu tetapi sekali lagi jangan misleading dalam cara mengukur kinerjanya.

Jadi apa parameter atau basis penilaian yang pas untuk menilai kinerja wakil rakyat menurut Anda?

Aspirasi, karena kan ini dipilih rakyat. Kalau Anda dinilai kinerjanya oleh presiden nanti presiden yang memilih saya, Anda kembali atau tidak. Kalau Anda dipilih oleh sebuah voting komisaris, Anda bertanggung jawab kepada komisaris. Tapi kalau kita bertanggung jawab kepada rakyat itu nanti yang akan memilih dalam 5 tahun itu adalah rakyat. Makanya, sebenarnya modernisasi parlemen itu atau mekanisme politik di parlemen, itu tidak saja memerlukan manajemen kelembagaan DPR tapi juga kita memerlukan modernisasi sistem perwakilan dan sistem pemilu supaya rakyat punya kewenangan dan hak yang lebih definitif terhadap anggota DPR yang dia pilih atau dalam proses dia memilih.

Saya sendiri pernah mengusulkan sistem distrik sepertinya lebih baik. Kenapa? Karena itu menyederhanakan jumlah daerah pemilihan sehigga rakyat nanti mengontrol anggota dewannya lebih direct, definitif, dan lebih clear. Kenapa? karena dapilnya kecil, misalnya satu kabupaten satu anggota dewan. Kita tahu menilai dia itu seperti apa. Iya kan? Sekarang ada 800 atau 508 Kabupaten/kota se-Indonesia seandainya ada 508 dapil maka seorang anggota dewan itu bisa dipilih dalam satu dapil dan anggota dewannya itu bisa dikontrol oleh hanya satu kabupaten.

DPR periode 2014-2019 ini mengalami tiga kali pergantian ketua. Apakah ikut mempengaruhi kinerja DPR?

Saya kira enggak karena kinerja DPR sekali lagi adalah kinerja politik, ya. DPR itu kan bekerjanya aksi reaksi. Kalau undang-undang itu menyuruh DPR mengawasi pemerintah, bikin undang-undang dengan pemerintah, membahas anggaran sama pemerintah. Jadi basis kerjanya itu adalah tergantung dari pemerintah juga karena semua pekerjaan dewan itu tergantung pada pemerintah. Yang kedua kalau menurut saya ya begitu kita memperkuat sistem pendukung, itu artinya kinerja DPR-nya itu bertambah.

Kalau penelitinya tambah banyak, maka supply kepada otak anggota akan semakin baik, supply kepada otak anggota makin baik, anggotanya tambah cerdas. Kecerdasan anggota itu membuat dia lebih pintar mengawasi pemerintah, lebih pintar dalam membahas undang-undang, dan lebih pintar dalam membahas anggaran.

Oposisi tak berperan maksimal. Dalam banyak kasus fraksi oposisi tak bisa memberikan tantangan maupun kritik politik yang substantif. Tak bisa mengubah kebijakan pemerintah. DPR jadi seperti lembaga pengetuk palu kebijakan pemerintah. Ada apa?

Ya, kalau itu saya bisa mengakui memang masih ada masalah dalam cara kita melihat sistem. Sistem kita ini adalah presidensialisme. Karena rakyat memilih presiden untuk membentuk pemerintahan. Nah, versus sistem parlementarisme, dalam parlementarisme rakyat cuma milih parlemen, dia enggak memilih eksekutif.

Kalau dalam parlementarisme parlemen membentuk pemerintahan yang sifatnya itu lebih labil karena dapat dijatuhkan oleh parlemen, karena parlemen yang membentuk. Nah dalam sistem presidensialisme itu sebenarnya enggak ada oposisi karena oposisinya itu ada di lembaga yang dibuat oleh rakyat sendiri. Jadi rakyat membuat sebuah lembaga eksekutif dibuat untuk menjalankan pemerintahan, legislatif dibuat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.

Jadi otomatis sebetulnya legislatif dalam sistem presidensialisme adalah oposisi terhadap pemerintah. Tapi kita mereduksinya dengan menganggap bahwa kalau presiden menarik satu dua orang dari partai politik menjadi menteri sifat oposisi dari parlemennya hilang.

Yang terjadi saat ini seperti itu, kan?

Makanya, saya sering mengatakan bahwa independensi lembaga perwakilan mutlak kita perjuangkan dan independensi ini yang memang belum banyak. Uang kita masih diatur oleh eksekutif, pegawai kita masih diatur oleh eksekutif dalam banyak hal pekerjaannya presiden itu jauh lebih mendapat back up daripada pekerjaan kita, presiden bisa punya tim yang banyak sekali. DPR baru sekarang mau memperkuat dirinya dengan dibentuk tim dan badan-badan keahlian di DPR ini.

Saya mengusulkan pada waktu itu kalau kita mau memperkuat DPR yang pertama independenkan DPR, dan cara mengindependenkan dia pakai yang saya alami: Anggota dewan itu hanya dicalonkan oleh partai politik, tidak dimiliki.

Sekarang kan ada kesan kalau orang sudah terpilih dia menjadi milik partai, tidak. Partai itu hanya mencalonkan, yang memilih rakyat sehingga yang melekat permanen pada anggota dewan itu adalah hak rakyat. Itulah sebabnya dia dikasih gaji, diberi fasilitas karena rakyat yang memilih dia, partai politik cuma mencalonkan. Itu yang belum ada. Jadi independensi

Kalau independensinya merujuk kasus Anda tadi, toh akhirnya Anda disingkirkan oleh partai?

Ya, itulah, makanya saya kan senang sekali ada keputusan Mahkamah Agung yang memenangkan saya sampai tiga kasasi dan salah satu argumennya adalah kenapa menghukum PKS, itu karena dia merampas hak rakyat. Rakyat NTB memilih saya, partai yang mencalonkan. Ya memang, partai kan bukan cuma mencalonkan saya tapi rakyat milih saya, nah saya enggak boleh diganggu karena pada diri saya itu ada kekuatan sebagai wakil rakyat dan karena itu undang-undang dasar memberikan hak imunitas, memberikan hak kebebasan berbicara, hak berbicara, hak bertanya, dan seterusnya itu.

Jadi kita harus mengindependenkan DPR itu dengan cara diindependenkan dari partainya, diindependenkan dari pemerintah. Jadi independen dari pemerintah belum, dari partai belum. Padahal roh dari seluruh undang-undang dan konstitusi kita harusnya DPR itu sebagai lembaga dan sebagai pribadi harus dibuat independen dan itulah kinerja DPR ke depan kalau kita mau perbaiki

(wis)

1 dari 2

Let's block ads! (Why?)


https://ift.tt/2mVU8NF
September 30, 2019 at 02:34PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2mVU8NF
via IFTTT

No comments:

Post a Comment