Seperti dilansir The Guardian, Kamis (20/12), menurut Kepala Badan Narkotika Filipina (PDEA), Derrick Carreon dari catatan mereka korban tewas dalam perang narkoba sejak Juli 2016 hingga akhir November mencapai 5050 orang. Kebanyakan mereka tewas di tangan polisi.
Carreon berlindung di balik alasan keselamatan para opsir polisi kerap terancam ketika memburu sindikat narkoba. Apalagi menurut dia para pelaku juga mempersenjatai diri dan terkadang dalam keadaan teler sehingga semakin beringas ketika digerebek aparat.
"Kami memastikan akan memburu target-target bernilai tinggi. Namun, para pengedar kecil juga tidak bisa dibiarkan karena akan semakin membuat pusing masyarakat," kata Carreon.
Pekan lalu, Ketua Komisi Hak Asasi Manusia Filipina, Chito Gascon menyatakan menurut catatan mereka korban tewas perang narkoba di negara itu mencapai 27 ribu orang. Mereka mengaku kesulitan mengusut karena polisi menahan laporan operasi narkoba.
Duterte menjalankan taktik berdarah itu sejak dia berkuasa pada Juli 2016. Hal itu juga dilakukan saat dia masih menjabat sebagai Gubernur Negara Bagian Davao.
Taktik Duterte melawan peredaran narkoba dengan cara ekstrayudisial dikritik karena dianggap melanggar HAM. Sebab, dia memberikan kewenangan tak terbatas kepada aparat, sehingga menyebabkan mereka bisa bertindak sesuka hati.
Apalagi dari sekian banyak korban, persentase pimpinan sindikat yang dibekuk belum seberapa dibanding para pengecer narkoba. Contohnya pada November lalu, pengadilan setempat menjatuhkan vonis kepada tiga polisi karena terbukti membunuh seorang pelajar SMU karena salah sasaran saat menggerebek gembong narkoba.
Mahkamah Internasional sudah memerintahkan penyelidikan mendalam terkait perang narkoba Duterte. (ayp/ayp)
https://ift.tt/2GuXBvW
December 21, 2018 at 02:28AM from CNN Indonesia https://ift.tt/2GuXBvW
via IFTTT
No comments:
Post a Comment