Ambil contoh, berdasarkan aduan yang diterima BPJS Watch, seorang ibu mengaku pernah dipaksa dokter di sebuah RS untuk melakukan operasi persalinan caesar. Padahal, ia mengklaim mampu melahirkan secara normal.
"Ternyata, kata dokter kalau persalinan caesar yang harganya lebih tinggi, di-cover oleh BPJS Kesehatan. Sedangkan, persalinan normal tidak. Padahal, di-cover juga," tutur Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar kepada CNNIndonesia.com, Senin (21/1).
Mengutip data yang dikantongi BPJS Watch, persalinan caesar menjadi salah satu jenis layanan yang membuat BPJS Kesehatan merogoh kocek cukup dalam. Pada Januari - November 2018, eks PT Asuransi Kesehatan (Persero) tersebut tercatat membayar Rp3,2 triliun untuk membiayai 584 ribu proses persalinan caesar.
Padahal, pada kurun waktu yang sama, pengeluaran untuk sekitar 300 ribu persalinan normal hanya berkisar Rp400 miliar.
Ini artinya, sambung Timboel, penyalahgunaan layanan kesehatan juga bisa datang dari dokter atau pihak RS. Persoalannya, aturan urun biaya yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 seolah-olah menempatkan peserta layanan satu-satunya yang harus bertanggung jawab.
Buktinya, PMK yang diteken Menteri Kesehatan Nila Farida Moeloek itu menyebut bahwa BPJS Kesehatan bisa menarik biaya patungan 10 persen atau maksimal Rp30 juta untuk layanan rawat inap di atas kelas 1 yang dihitung dari biaya pelayanan dari total tarif INA-CBG.
Sementara, untuk setiap kali kunjungan rawat jalan di RS kelas A dan B, peserta dipatok urun biaya Rp20 ribu, dan sebesar Rp10 ribu untuk kunjungan rawat jalan di RS kelas C, D, serta klinik utama atau paling tinggi sebesar Rp350 ribu untuk paling banyak 20 kali kunjungan dalam jangka waktu tiga bulan sesuai Pasal 9 PMK tersebut.
Menurut Timboel, seharusnya pemerintah dan BPJS Kesehatan bisa lebih jeli melihat potensi penyalahgunaan layanan. Meskipun, ia tak memungkiri penyalahgunaan juga dapat dilakukan oleh peserta. "Saya menduga ada celah di dokter. Tetapi, BPJS tidak bisa menindaknya selama ini. Jadi, dibebankan ke peserta," imbuh dia.
Terkena Terburu-buru
Tidak hanya tidak tepat sasaran, BPJS Watch juga menilai aturan urun biaya diterbitkan terburu-buru. Lihat saja, sampai aturan ini ditandatangani dan keluar pada 14 Desember 2018 lalu, belum jelas apa penyalahgunaan layanan kesehatan yang dimaksud PMK 51/2018.
Selain itu, aturan tersebut meminta Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan bersama organisasi profesi dan asosiasi fasilitas kesehatan membentuk tim perumus yang akan mengusulkan jenis penyalahgunaan layanan kesehatan yang dimaksud, melakukan uji publik, hingga membuat rekomendasi.
"Seharusnya, sebelum aturan dibuat pun sudah ada sosialisasi ini. Ini kan tidak. Tiba-tiba muncul saja (PMK 51/2018) dan belum jelas. Lagi-lagi hanya membuat publik terkejut," jelas Timboel.
Karenanya, ia mendesak pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk memperjelas aturan main urun biaya, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di kalangan peserta. Setelah itu pun, perlu sosialisasi aturan terkait secepatnya.
Apalagi, ia melanjutkan urun biaya yang diberlakukan tidak kecil. "Dalam aturan itu ada kewajiban urun biaya mencapai 10 persen. Ini angka yang memberatkan. Misalnya saja, persalinan Rp5 juta, itu berarti kena Rp500 ribu. Perlu dasar-dasar persentase kenapa seperti ini?" katanya.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf sebelumnya mengakui jenis layanan kesehatan memang belum ditentukan baik oleh institusinya maupun Kementerian Kesehatan. Tapi, ia meyakini aturan main baru ini akan mempengaruhi masyarakat dalam memanfaatkan layanan kesehatan.
Ujung-ujungnya, ia berharap dapat menekan defisit keuangan BPJS Kesehatan. "Ini contoh saja ya, misalnya sakit flu masuk dalam jenis layanan kesehatan yang bisa menimbulkan penyalahgunaan, lalu orang itu harus bayar lebih kalau harus ke dokter. Jadi, mereka tahan saja dengan beli obat sendiri," tandasnya.
(uli/bir)
http://bit.ly/2R2oib6
January 21, 2019 at 09:51PM from CNN Indonesia http://bit.ly/2R2oib6
via IFTTT
No comments:
Post a Comment