Angka kebocoran ini disebutnya berasal dari penghimpunan data yang dilakukan oleh kubu Prabowo-Sandi sejak 2016. Hal itu terutama data kasus-kasus pelanggaran pajak yang sebenarnya sudah diputus oleh pengadilan, namun wajib pajak tidak juga membayar pajak kepada negara.
"Ada kasus-kasus pajak yang di pengadilan pajak sudah inkrah dan tagihannya mencapai puluhan triliun rupiah, saya ada angka indikatifnya, tapi tidak bisa disampaikan," ujar Ketua Dewan Kehormatan PAN itu di Media Centre Prabowo-Sandi di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (23/1).
Selain data dari kasus-kasus yang sudah inkrah, Drajad menduga nilai kebocoran pajak sejatinya lebih besar karena tentu terdapat kasus lainnya.
"Jika kasus yang sudah inkrah saja bocornya besar, bagaimana dengan kasus yang tidak diselidiki? Misalnya kasus yang jadi lahan KKN dan sebagainya," ungkapnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan kebocoran pajak terjadi dalam beberapa tahap. Pertama, saat proses perencanaan kegiatan ekonomi. Kedua, setelah aktivitas ekonomi berlangsung. Ketiga, setelah ada proses hukum. Keempat, setelah inkrah atau sudah diputuskan oleh pengadilan.
Menurutnya, kebocoran pajak itu terjadi karena beberapa faktor. Mulai dari lemahnya pengawasan dari otoritas pajak hingga kecurangan yang dilakukan wajib pajak secara pribadi. Misalnya, dengan perilaku menaruh harta di negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah dibanding Indonesia, sehingga hanya membayar pajak dengan jumlah kecil di dalam negeri.
"Saya tahu cara orang untuk satu per satu 'nilep' pajak, ada yang hindari dan ada yang bahkan nilep. Ada juga karena banyaknya aktivitas ekonomi membuat ada yang masih kehilangan subyek pajak, cara gampangnya Google dan Amazon," katanya.
Berdasarkan sektor usaha, ia mencatat kebocoran pajak terbesar berasal dari sektor usaha berbasis ekspor komoditas, properti, hingga digital ekonomi. Kebocoran itu terjadi secara berkelanjutan.
"Google, Facebook, Amazon segala macam dikejar-kejar oleh otoritas pajak di Eropa, di Inggris misalnya. Starbucks juga dikejar-kejar, jadi ini masalah di semua negara," jelasnya.
Meski kebocoran pajak di sektor digital ekonomi menjadi masalah di semua negara, namun Drajad memandang nilai kebocoran di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain.
Dalam kesempatan tersebut, Drajad mengklaim kubu Prabowo-Sandi memiliki program untuk menghentikan kebocoran pajak. Salah satunya, dengan membenahi infrastruktur perpajakan lebih dulu.
Hal itu dilakukan dengan meningkatkan kemampuan teknologi informasi dalam sistem perpajakan yang memungkinkan semua pengenaan pajak terekam dan terhubung ke dalam sistem secara cepat.
"Perbaikan sumber daya manusia di sektor perpajakan, teknik pemeriksaan, dan lainnya harus diperbaiki juga," ucapnya.
Sebagai informasi, pemerintahan Joko Widodo sudah menerapkan kebijakan keterbukaan dan pertukaran informasi perpajakan secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI). Kebijakan ini memungkinkan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memiliki akses untuk melihat data harta Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri.
Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan pemberlakukan AEoI membuat otoritas pajak memiliki wewenang lebih luas dalam memeriksa data keuangan para WP, seperti rekening tabungan, deposito, hingga transaksi rinci seperti mutasi.
Selama ini, berdasarkan UU Perbankan yang berlaku, data nasabah penyimpan di bank tidak dapat diberikan kepada DJP, kecuali dalam hal sedang dilakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti perkara, penyidikan atau penagihan aktif terhadap WP nasabah bank tersebut. Itupun harus melalui izin ketua OJK berdasarkan permintaan Menteri Keuangan. (uli/lav)
http://bit.ly/2Msrlsp
January 24, 2019 at 04:06AM from CNN Indonesia http://bit.ly/2Msrlsp
via IFTTT
No comments:
Post a Comment