Moeldoko menjelaskan reformasi struktur telah dilakukan sampai tingkat Kodim dengan menghapus bidang sosial politik. Kedua dilakukan perubahan doktrin dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) serta fokus pada pertahanan dan keamanan.
"Maka sesungguhnya enggak ada lagi itu peran-peran sosial politik. Kalau dua hal itu tidak ada, maka enggak akan lagi lah kembali kepada dwifungsi. Kecuali, kalau ada UU TNI yang baru," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (19/2).
Mantan Panglima TNI itu pun menegaskan sampai dengan saat ini pun tidak ada pembahasan di pemerintah untuk merevisi undang-undang terkait struktur dan fungsi tersebut. TNI. Pembahasan revisi UU TNI, kata Moeldoko, hanya sebatas soal perubahan usia pensiun bagi tantama dan bintara.
"Tapi itu baru inisiasi pemerintah. Tapi, bagaimana DPR [hasilnya]," ujar Moeldoko.
Moeldoko pun mengakui saat ini sudah ada sejumlah prajurit ikut membantu tugas kementerian dan lembaga. Dia mencontohkan ada anggota Babinsa yang membantu Kementerian Pertanian untuk menggarap sawah, kemudian prajurit TNI yang diperbantukan untuk melakukan pengamanan di stasiun kereta api maupun bandara.
Menurutnya, penugasan itu tidak bersifat permanen. Moeldoko mengatakan dirinya pernah menandatangani nota kesepahaman (Memory of Understanding/MoU) dengan Kementan terkait perbantuan anggota babinsa untuk menggarap sawah di sejumlah daerah.
Namun, kata Moeldoko, kerja sama itu harus diakhiri. Menurutnya anggota TNI yang diberikan tugas, seperti di Kementan itu tak boleh terlalu lama.
"Seharusnya kan segera diperbaiki organisasi itu oleh yang memegang kekuasaan di situ. Jangan TNI lama-lama di situ nanti ketinggalan rohnya begitu lah kira-kira," kata Moeldoko.
Moeldoko melanjutkan nantinya bila perwira TNI ditempatkan di lingkungan kementerian atau lembaga sifatnya adalah penugasan bukan dengan sistem merit. Sistem merit adalah sistem mutasi prajurit yang didasari landasan ilmiah, obyektif, dan prestasi kerja.
Ia mengatakan sistem merit itu diterapkan khusus bagi prajurit TNI yang ditempatkan pada lembaga yang boleh diisi sesuai undang-undang.
Dalam Pasal 47 UU TNI, jabatan yang bisa diisi prajurit aktif adalah kementerian atau lembaga di bidang koordinator bidang Politik dan Keamanan, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil menyuarakan penolakan kembalinya dwifungsi ABRI. Mereka membuat petisi di situs change.org berjudul 'Tolak Kembalinya Dwi-fungsi ABRI Melalui Penempatan TNI di Lembaga Sipil'.
Petisi ini ditujukan kepada Presiden RI Joko Widodo dan Ketua DPR Bambang Soesatyo. Petisi ini diinisiasi sejumlah Koalisi Masyarakat Sipil seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, The Indonesian Human Rights Monitor, dan Setara Institute.
Mereka berharap restrukturisasi dan reorganisasi TNI tidak boleh bertentangan dengan agenda reformasi TNI. Rencana restrukturisasi TNI ditegaskan harus sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi TNI.
"Kami menilai rencana penempatan militer aktif pada jabatan sipil melalui revisi UU TNI tidak tepat. Penempatan TNI aktif pada jabatan sipil dapat mengembalikan fungsi kekaryaan TNI yang dulunya berpijak pada doktrin dwifungsi ABRI (fungsi sosial-politik) yang sudah dihapus sejak reformasi," isi petisi penolakan kembalinya dwifungsi ABRI tersebut.
(fra/kid)http://bit.ly/2IozqAh
February 20, 2019 at 01:27AM from CNN Indonesia http://bit.ly/2IozqAh
via IFTTT
No comments:
Post a Comment