Pages

Saturday, March 16, 2019

Naik Turun Gunung Demi Meneguk Congyang

CATATAN PERJALANAN

Asri Wulandari, CNN Indonesia | Sabtu, 16/03/2019 15:56 WIB

Semarang, CNN Indonesia -- "Hah? Mau cari Congyang? Blusukan aja sini di kota."

Kalimat itu terlontar dari mulut seorang kawan, sebut saja Rayu, si kawan dekat yang sudah lama tak bersua. Kalimat itu jadi jawaban Rayu saat saya bertanya di mana saya bisa mendapatkan Congyang.

Congyang adalah minuman beralkohol tradisional asal Semarang. Namanya begitu melegenda di seantero Semarang. Tak didistribusikan ke daerah-daerah lain, minuman fermentasi beras itu hanya tersedia di Semarang.

Artinya, siapa pun yang menginginkan Congyang, bertandanglah ke Semarang.


Awal Februari lalu, pukul 07.00 WIB, tubuh saya masih berada di Solo, kota yang berjarak sekitar 95 kilometer dari Semarang. Tapi, isi kepala sudah berpelesir menuju pojok-pojok Kota Semarang, mencari kesegaran dari cairan yang ada di balik botol kaca bergambar tiga dewa itu.

Bukan untuk mabuk, saya hanya ingin tidur nyenyak.

Ada banyak jalan menuju Semarang. Jika ingin sedikit berputar-putar mengelilingi Jawa Tengah, Anda bisa meluncur melalui jalur Purwodadi.

Atau, jika terburu-buru, Anda bisa mencoba jalur Tol Semarang-Solo yang dapat ditempuh hanya dalam waktu 90 menit.

Tapi, bagi Anda yang ingin menikmati perjalanan, cobalah jalur yang melintasi Boyolali-Salatiga-Ambarawa-Ungaran.


Jalur dari Solo menuju Semarang yang satu ini patut untuk dijajal. Saya menyebut jalur ini sebagai rute naik turun gunung.

Betapa tidak, dari Solo di ketinggian 105 mdpl menuju Salatiga dengan ketinggian 750 mdpl, semakin menanjak ke sekitar 1.700 mdpl di Bandungan-Ungaran, untuk kemudian turun kembali ke Semarang, sebuah kota yang terletak di pesisir pantai.

Pelan-pelan kendaraan yang saya tumpangi melaju kencang. Tak begitu jauh dari pusat Kota Solo, berbelok sedikit menuju Bandara Internasional Adi Soemarmo, ada tempat yang penuh dengan cerita.

Itu adalah Pabrik Gula Colomadu, pabrik gula pertama yang dibangun oleh bangsa lokal, Mangkunegaran IV pada 1861 silam.

Namun, karena mengejar waktu, saya tak memilih untuk berbelok. Saya tetap melanjutkan perjalanan melewati Jalan Raya Boyolali-Semarang. 

Setibanya di Boyolali, pikiran saya lantas melompat pada guyonan satir 'tampang Boyolali' yang sempat viral di media sosial. Saya mencerna, ada apa dengan Boyolali. Ah, rasanya tak ada apa-apa.

Boyolali hanya kabupaten kecil yang sederhana. Di dalamnya ada lalu lalang warga yang sibuk beraktivitas.


Mobil terus melaju, udara segar mulai merasuki tubuh. Menengok ke kiri, puncak Gunung Merbabu malu-malu memperlihatkan dirinya dari balik awan. Ia berdiri tegak di atas ketinggian.

Gunung Merbabu adalah salah satu gunung tertinggi di Pulau Jawa. Dengan ketinggian 3.145 mdpl, ia berada di tiga wilayah administratif: Kabupaten Magelang, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Boyolali.

Boyolali menjadi pintu masuk bagi mereka yang akan mendaki melalui jalur Selo dan pintu masuk utama Taman Nasional Gunung Merbabu sebagai jalur pendakian populer.

Namun, jika ingin sedikit antimainstream, Anda bisa menjajal jalur Kopeng, sebuah desa di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, yang cantiknya bukan main.

Saya berbelok ke Jalan Muncul Raya di sebelah barat Salatiga. Menyusuri jalan, lalu tibalah saya pada dermaga kecil milik nelayan setempat.

Saya permisi melewati warga sekitar yang berkumpul di rumah-rumah apung pinggiran danau menikmati sore ditemani secangkir kopi panas.

Saya mendapatkan perahu nelayan dengan harga sewa Rp90 ribu untuk satu jam perjalanan. Bayaran itu setimpal dengan suasana yang didapat di atas perahu yang meluncur melewati kumpulan eceng gondok di permukaan Rawa Pening.

Penjelajahan penulis untuk menemukan congyang di Semarang masih berlanjut ke halaman berikutnya...
(ard)

1 dari 3

Let's block ads! (Why?)


https://ift.tt/2Y2scFC
March 16, 2019 at 10:56PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2Y2scFC
via IFTTT

No comments:

Post a Comment