Liverpool sendiri sempat menjadi kandidat juara Liga Inggris, meski akhirnya kandas di tangan Manchester City. Kini The Reds menatap final Liga Champions 2019 dengan melawan Tottenham Hotspur di Stadio Wanda Metropolitano, Madrid, Sabtu (1/6) malam waktu setempat.
Klopp sedang tidak merendah saat mengeluarkan pernyataan tersebut. Liverpool sesungguhnya sudah akrab dengan kegagalan di ujung kompetisi. Sejak dibesut Klopp, Jordan Henderson dan kawan-kawan sudah merasakan kegagalan di tiga partai final: Piala Liga (2016), Liga Europa (2016), serta Liga Champions (2018). Itu semua belum ditambah kegagalan menjadi kampiun Liga Inggris musim ini.
Sang calon lawan, Tottenham Hotspur, juga tidak lebih baik kondisinya. Dalam beberapa musim terakhir, Tottenham memang berhasil menjadi pengganggu kedigdayaan tim-tim papan atas Liga Inggris. Termasuk di musim 'anomali' 2015/2016 ketika mereka berhasil duduk di peringkat dua di bawah Leicester City.
Liverpool dua kali menang 2-1 atas Tottenham di Liga Inggris musim ini. (Reuters/Paul Childs)
|
Final Usai Dua Laga Dramatis
Tottenham dan Liverpool berhasil meningkatkan gairah di Liga Champions musim ini setelah apa yang mereka lakukan terhadap lawan-lawan mereka di babak semifinal. Seperti diketahui, kedua tim berhasil menciptakan comeback yang sangat mengesankan dalam sejarah Liga Champions.
Namun, aksi Lucas Moura berhasil membalikkan keadaan. Mengandalkan serangan cepat, skuat asuhan Mauricio Pochettino mampu mencetak tiga gol dan lantas unggul agresivitas gol tandang hingga peluit akhir ditiupkan.
Setali tiga uang Liverpool juga lolos dari semifinal dengan cara yang dramatis. Menjamu Barcelona di Anfield, Liverpool sudah harus menanggung beban defisit tiga gol hasil lawatan mereka ke Camp Nou pada leg pertama. Banyak pihak benar-benar menjagokan El Barca untuk lolos.
Tottenham dan Liverpool sama-sama menganut sepak bola menyerang. (REUTERS/Dylan Martinez)
|
Penganut Filosofi Menyerang
Menerapkan mazhab sepak bola menyerang menjadi kunci Tottenham dan Liverpool bisa keluar dari lubang jarum di babak semifinal. Spurs tampil lebih trengginas meski sempat tertinggal dua gol di leg kedua semifinal. Total di laga tersebut Tottenham melepaskan 24 tembakan dengan penguasaan bola mencapai 60 persen.
Sementara bagi Liverpool, meski secara penguasaan bola mereka tak lebih baik di leg kedua, namun mereka mampu tampil lebih efektif. Melalui kaki Divock Origi, Si Merah berhasil membuka keunggulan meski laga belum berumur sepuluh menit. Gol keempat mereka yang lagi-lagi dicetak oleh Origi juga berawal dari efektivitas dan kejelian serangan anak asuh Juergen Klopp.
Dalam hal jumlah tembakan pun keduanya berada di peringkat empat besar. Mayoritas, peluang yang mereka ciptakan berasal dari tendangan di dalam kotak penalti.
Sisi Sayap Motor Serangan
Satu kesamaan yang jelas terlihat antara Tottenham dan Liverpool adalah kedua tim sama-sama mengandalkan sisi sayap untuk menerapkan sepak bola menyerang. Sebanyak total 73 persen serangan Tottenham berasal dari kedua sisi sayap mereka. Sementara sumber serangan Liverpool yang berasal dari sayap juga mencapai 74 persen.
Data di atas memang didukung dengan keberadaan pemain di masing-masing tim. Liverpool didukung oleh dua fullback yang rajin naik dan mengirimkan umpan ke jantung pertahanan lawan. Di Liga Inggris, Trent Alexander-Arnold dan Andrew Robertson masing-masing menyumbangkan 12 dan 11 assist.
Tottenham vs Liverpool duel dua tim yang menang dramatis di Liga Champions. (REUTERS/Dylan Martinez)
|
Jual beli serangan dari sisi sayap pun diprediksi bakal terjadi pada laga final nanti. Jika trisula Liverpool yang terdiri dari Sadio Mane, Roberto Firmino, dan Mohamed Salah benar-benar bermain, kecepatan serangan akan menjadi kunci.
Liverpool terkenal cakap saat menciptakan transisi dari pola bertahan menuju membangun serangan. Kengototan gelandang pekerja mereka seperti Fabinho atau Georginio Wijnaldum, yang dipadukan dengan kecepatan para pemain depan menjadi senjata utama The Anfield Gang.
Sementara untuk Tottenham, serangan mereka lebih bervariasi. Tidak seperti Liverpool yang bersifat lebih direct saat menyerang, Spurs ikut melibatkan kemampuan skill individu para pemainnya.
Sepak bola menyerang akan terjadi di final Liga Champions 2019. (Reuters/Paul Childs)
|
Mungkin ada yang berpendapat jika ini merupakan final antiklimaks. Sebuah partai yang mempertemukan dua tim dari negara yang sama, tim yang nyaris kalah di semifinal, namun justru lolos dengan cara yang dramatis.
Tapi seperti sebuah kutipan yang sudah mendunia: "pertahanan terbaik adalah menyerang", bisa jadi ini merupakan final yang sangat menghibur. Hal ini disebabkan Tottenham dan Liverpool menggemari permainan terbuka dan jauh dari bentuk sepak bola pragmatis.
Bagi Tottenham Hotspur dan Liverpool, laga di Stadion Wanda Metropolitano merupakan lebih dari sekadar laga pemungkas Liga Champions 2018/2019. Ini merupakan satu-satunya trofi yang tersisa bagi mereka di musim ini.
Kembali ke paragraf-paragraf awal, Tottenham dan Liverpool sudah sering tersandung dan sudah lama mereka tak melangkah ke podium juara. Final ini merupakan pleidoi atas kegagalan yang sudah dirasakan kedua klub selama ini.
http://bit.ly/2EMDsxS
June 01, 2019 at 03:07PM from CNN Indonesia http://bit.ly/2EMDsxS
via IFTTT
No comments:
Post a Comment