Penambahan sanksi tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 21/1/PBI/2019 tentang Utang Luar Negeri Bank dan Kewajiban Bank Lainnya Dalam Valuta Asing. Sebagai informasi, perbankan yang berniat mengajukan utang luar negeri jangka pendek wajib memiliki saldo harian minimal 30 persen. Sedangkan pengajuan utang luar negeri jangka panjang harus tercantum dalam rencana bisnis bank (RBB), mendapat persetujuan dari BI, dan kewajiban laporan realisasi utang.
Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Aida Budiman menjelaskan perbankan yang tidak menaati aturan ULN dalam jangka waktu satu tahun akan terkena pembatasan keikutsertaan dalam melakukan operasi moneter.
"Pemberian sanksi berdasarkan gradasi pelanggaran berapa kali dia melanggar, kami sesuaikan dengan gradasi transaksi," kata Aida, Kamis (24/1).
Namun, BI tak menutup akses operasi pasar sepenuhnya bagi perbankan yang melanggar aturan, melainkan memberi izin untuk bertransaksi Repurchase Agreement (Repo) atau transaksi gadai bersyarat antar bank dengan jangka waktu satu pekan. Hal itu demi mengatasi persoalan likuiditas.
"Yang kami tutup (untuk bank yang melanggar) adalah operasi moneter yang sifatnya lebih investasi. Kalau yang sifatnya bank untuk likuiditas kami tetap buka," jelas Aida.
Sanksi awal bagi bank yang melanggar aturan ialah berupa teguran tertulis. Setelah itu, bank diwajibkan membayar denda, dan mematuhi larangan mengajukan permohonan persetujuan kewajiban jangka panjang. Ketiga sanksi itu sudah ada dalam PBI sebelumnya, yakni PBI Nomor 16/7/PBI/2014.
Selain menambah sanksi, revisi beleid ini juga menambah kewajiban bank terkait aktivitas transaksi partisipasi risiko (TPR). Aktivitas itu bisa diartikan sebagai transaksi pengalihan risiko atas suatu kredit atau fasilitas lainnya yang dilakukan berdasarkan perjanjian induk transaksi partisipasi risiko.
Transaksi partisipasi risiko ini dilakukan oleh dua pihak, pihak pertama sebagai penjual risiko dan pihak kedua sebagai penerima risiko.
"TPR melibatkan aliran dana dari bank di luar negeri ke bank di dalam negeri sehingga memunculkan riisko eksternal bagi Indonesia," tutur Aida.
Sebagai gambaran, transaksi partisipasi risiko ini kerap dilakukan oleh perbankan Indonesia yang membagi risiko utang kepada pihak ketiga di luar negeri. Dalam pembagian risiko tersebut ada kesepakatan komisi dan tanpa sepengetahuan debitur dari perbankan yang membagi risiko tersebut.
Nantinya, jika debitur telah membayar utangnya kepada bank yang membagi risiko kepada pihak ketiga, maka perbankan juga harus mentransfer dana yang dibayarkan debitur kepada pihak ketiga tersebut.
Aida mengakui aktivitas ini terbilang baru di Indonesia. Maka itu, BI melakukan antisipasi dengan menambahkan sanksi dalam beleid. Sebelumnya, aturan ini biasa dilakukan di New York sejak 2009 atau 2010 lalu. Kemudian, perbankan Indonesia mulai mengikutinya pada 2015 atau 2017 lalu.
"Jadi memang baru di Indonesia," imbuh Aida.
Sayangnya, Aida enggan membocorkan bank mana saja yang sudah melakukan aktivitas transaksi partisipasi risiko ini serta jumlah yang sudah dibagi risikonya kepada pihak ketiga. Hal yang pasti, ia menekankan jumlahnya masih sedikit.
"Kami ada datanya, bank nya masih sedikit dan nominal belum signifikan. Tapi kami kan tetap harus memitigasi risiko yang muncul," pungkas Aida.
(aud/lav)http://bit.ly/2FTMDy2
January 25, 2019 at 02:55AM from CNN Indonesia http://bit.ly/2FTMDy2
via IFTTT
No comments:
Post a Comment