Pages

Friday, November 30, 2018

Kekerasan terhadap Perempuan Terganjal Proses Pembuktian

Jakarta, CNN Indonesia -- Proses pembuktian di tingkat penyidikan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sering mengalami kendala. Hal ini disampaikan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Siti Mazuma.

Dia mengatakan pihaknya sering berdiskusi dengan penyidik dari polres mengenai sulitnya menindaklanjuti kasus kekerasan seksual.

"Kasus-kasus kekerasan seksual lagi marak, cuma yang menjadi kendala di tingkat penyidikan itu kendala pembuktian kita," kata Siti saat konferensi pers Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, di @america, Pacific Place, Jakarta Pusat, Selasa (27/11).


Berbeda dengan kasus perkosaan yang bisa dibuktikan dengan visum, pelecehan seksual seperti diraba, tidak ada pembekasan di visum et repertum.

Namun, kata Siti, masih ada solusi metode pembuktian selain visum et repertum atau keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan penyidik.

Hal ini juga ia sebutkan karena dalam kendala pembuktian kasus kekerasan seksual, pihak kepolisian hanya mengacu pada keterangan saksi yang dia nilai tidak cukup untuk menunjukkan bukti kekerasan tersebut.

Komisi Nasional AntiKekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pernah menerbitkan penelitian pada Juli 2018 dengan judul Membangun Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban Kekerasan: Pengembangan Konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu: Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP).


Penelitian itu menyebutkan, dalam komponen substansi hukum terdapat peraturan perundang-undangan, baik materil maupun formal, yang cenderung menyulitkan perempuan untuk mencapai keadilan.

"Misalnya yang diatur di dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengenal kekerasan berbasis gender (gender-biased violence). Hal ini terlihat antara lain tidak satu pun pasal yang mengenal atau mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan: pasal-pasal yang berkaitan dengan bentuk kekerasan seksual dikategorikan sebagai kejahatan kesusilaan dan bukan kejahatan atas integritas tubuh perempuan, dan lain-lain," seperti dikutip dari penelitan tersebut.

Sedangkan dalam hukum formal yang tertuang di KUHP, pengaturan hak perempuan sebagai korban kekerasan dan hak perempuan sebagai "pelaku" atau perempuan yang berkonflik dengan hukum belum cukup memadai.

Hal ini juga dijelaskan dengan tidak adanya ruangan untuk aparatur penegak hukum membicarakan permasalahan kepentingan masyarakat yang mencari keadilan.

Kesulitan yang dialami aparatur penegak hukum dan lembaga penegak hukum dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual disebabkan oleh penafsiran terhadap substansi hukum acara pidana.

Kekerasan terhadap Perempuan Terganjal Proses PembuktianIlustrasi. (Istockphoto/JOHNGOMEZPIX)
Beberapa dilatarbelakangi oleh cara pandang yang masih bias gender, sikap sebagian besar penegak hukum yang masih dipengaruhi budaya yang menyudutkan korban yang menyebabkan penindaklanjutan kasus bertentangan dengan aturan yang ada, dan pendekatan aparat penegak hukum yang pada umumnya sangat yuridis formal sehingga tidak sensitif gender.

Selain itu yang menjadi penting adalah lembaga pengadaan pelayanan pendampingan terhadap korban kekerasan yang tidak ikut dipertimbangkan untuk penegakan hukum. Hal ini juga menjadi catatan dalam penelitian tersebut.

Sebagai sebuah solusi, Siti mengatakan untuk kasus pelecehan yang tidak meninggalkan bekas, bisa dilakukan bentuk pemeriksaan visum psikiatrikum. Fungsinya adalah mengukur tingkat traumatik korban.

"Jadi untuk menangkap sejauh mana tingkat traumatik si korban," ujar Siti.

Data Komnas Perempuan terkait Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2016 menyebutkan angka perkosaan, pencabulan, pelecehan selsual dan percobaan perkosaan mencapai 56 persen (2.183 kasus) dari total 3.860 yang dilaporkan terjadi di ranah komunitas.

Sedangkan bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)/Relasi Perempuan (RP) mencakup: kekerasan terhadap isteri (KTI 59 persen), kekerasan dalam pacaran (KDP, 21 persen), kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP, 10 persen), kekerasan mantan pacar (KMP, 1 persen), kekerasan dari mantan suami (KMS, 53 kasus) dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT, 23 kasus).


Berdasarkan jumlah itu, terdapat banyak kasus yang akhirnya tidak memberikan keadilan bagi korban, seperti proses penyelesaian kasus yang berpotensi memberikan impunitas kepada pelaku, bukti yang lemah dalam proses penyidikan, dan ancaman hukuman kepada korban seperti yang terjadi di Aceh.

Pada 2017, KDRT/RP mencapai angka 75 persen (10.205), kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas mencapai 22 persen (3.092) dan kekerasan terhadap perempuan di ranah negara dengan persentase 3 persen (305).

Sedangkan untuk kendala kesulitan menegakan hukum dalam kasus-kasus tersebut adalah penegakan hukum yang masih lemah dan masih maraknya kebijakan diskriminatif, impunitas terhadap pelaku yang memicu pengulangan kasus, lambannya negara menangani kasus-kasus tersebut, dan minimnya lembaga layanan untuk korban.

Terakhir adalah meningkatnya konservatisme dan fundamentalisme agama dalam konteks antikesetaraan gender.

Pada 2018, dalam ranah privat atau personal tercatat 71 persen atau 9.609 kasus, ranah publik/komunitas 26 persen atau 3.528 kasus dan ranah negara sebanyak 1,8 persen atau 247 kasus.

Sedangkan untuk hambatan dalam jalur hukum adalah perkembangan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang masih lamban dan belum utuhnya pemahaman hak perempuan korban, dan potensi diskriminasi baru dalam Amandemen UU KUHP.

Komnas Perempuan sebelumnya juga menyampaikan 40 persen kasus kekerasan seksual berhenti di tingkat kepolisian. Hal ini biasanya didominasi oleh proses pembuktian yang tersendat. Sedangkan hanya 10 persen yang dilanjutkan ke pengadilan. (ani/pmg)

Let's block ads! (Why?)


https://ift.tt/2PcrG2q
December 01, 2018 at 05:17PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2PcrG2q
via IFTTT

No comments:

Post a Comment